"Jadi otak dari ini semua itu si tengil ini?" tanya Neo mengawali.
Nian memberengut, merasa dirinya tengah di hina oleh si bongsor Neo. Ia hendak memprotes namun Hasina menghardik cepat.
"Yep. Gue awalnya sama sekali nggak setuju. Ini terlalu beresiko, tapi lo tahu sendiri 'kan? si pendek itu kalau udah minta sesuatu memang harus di turuti."
"Woi! lo semua hina-hina gue seolah di sini gue cuma angin lewat!" Nian sibuk bersedikap dada dan menyumpah serapahi siapa saja yang berani menghina dirinya.Di sebuah aula khusus sosialisasi kini berkumpulah seluruh panitia serta peserta yang hendak mengikuti acara yang di selenggarakan oleh organisasi Pecinta Alam tersebut.
Di depan sana, Nian berdiri di dampingi Vano yang berstatus sebagai ketua dari kegiatan tersebut.
Nian berdeham, "Jadi gue di sini mau memberi tahu sesuatu, gue mau kalian berperan dengan begitu bagusnya seolah peran yang kalian mainkan itu benar-benar nyata."
Sontak seluruh mata saling memandang dengan alis bertaut, bertanya-tanya peran apa? maksudnya apa?
Nian yang paham pun segera meluruskan itu semua, lantas menjelaskan apa yang ingin ia lakukan.
Setelahnya semua mengangguk setuju, merasa tidak keberatan melakukan sedikit peran yang -,lumayan menarik.
"Dan lo perlu tahu sesuatu, rencana awal tidak se-ekstrem ini, awalnya kita hanya berencana untuk berdrama seolah Nian sedang marah dan menjauhi lo, tapi.." Vano menggantung kalimatnya, membuat Neo memandang penuh tanya.
Pletak.
Sejurus kemudian Vano menjitak kening Nian lumayan keras, menatap sengit gadis mungil yang tengaj meringis menahan sakit.
"Tapi di saat semua sudah bersiap, ini anak hilang ntah kemana, makanya gue nyuruh Leo ngulur waktu ntah dengan cara apapun itu sampai jam lima sore," tutur Vano lagi, sontak Neo mendelik begitu tajam pada Leo yang kini meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Pasalnya, saat mencari-cari bendera Leo terus mengarahkan kelompok untuk berputar mengelilingi hutan dan melarang untuk pembagian tugas padahal jika dapat pembagian tugas maka bendera juga akan segera di dapatkan.. dan ternyata ini alasannya.
Neo mengalihkan perhatiannya lagi pada Vano, "Lanjut.."
"Nian mana, sih?" tanya Vano panik, pasalnya ini sudah hampir jam 3 sore dan acara inti akan segera di mulai.
Evan dan Habibi kemudian datang di susul Availa, Askara, serta Terreo.
Vano ingat, bahwa itu merupakan kelompok yang beranggotakan oleh gadis itu.Vano mendekat lantas bertanya, "Nian mana? acara inti udah mau mulai."
"Lah itu di bela- Loh!?" Evan tersentak di kala tak menemukan keberadaan Nian. Vano menghela berat, gadis itu paati tengah berkeliaran sendiri di tengah hutan bersama imajinasi tak berlogika miliknya.
"Terus ini gimana?" tanya Vano, "Kalau nggak ada Nian, bisa berantakan."
Semua mulai resah.
Memikirkan jalan keluar. Tidak ada yang peduli bagaimana keberadaan Nian. Mereka semua paham betul, tanpa pengawasan pun gadis itu tidak akan tergores maupun terluka sedikitpun.
Mengingat betapa ganas dirinya di kala terusik.
"Ini udah jam tiga, si tengil itu kemana sih!?" Vano gusar lalu terduduk dengan bersender pada batang pohon.
Hingga suara seseorang tengah terlelap terdengar..
Grookk..
Vano menajamkan pendengarannya, lantas mencari-cari sumber suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEONIAN
Teen Fiction"Kalau lo pergi, gue nggak menjamin eksistensi gue ada di dunia ini lagi," tersenyum getir pemuda berkaos olahraga yang telah banjir keringat itu berbicara lemah. Mengulum bibir dalam. Beberapa kejadian pahit yang menimpa mereka cukup membuat ia ban...