Duapuluhlima; karena mereka ada, gue kuat

21 1 2
                                    

"Raka. Raka Genida itu siapa lo..?"

Mematung. Vano kesulitan bernapas, nama itu, nama yang begitu sangat ia rindukan.

Hampir 2 tahun kepergiannya, Vano masih saja belum terbiasa. Menghela, Vano menatap langit kelabu yang masih merintikkan buliran air yang berjatuhan. "He's my twin.. My bestfirend, my son, my soul."

Kalimat itu terdengar pahit, Kiera terpanah. Jadi, yang sedang berdiri di sampingnya kali ini adalah kembaran dari sang mantan kekasih yang telah pergi sejak lama?

Revano Genida.

Dia memang seperti refleksi dari sosok Raka. Sikap hangat dan juga manis itu sanggup membuat Kiera lupa diri. "Raka kembaran lo?"

"Ya," mengangguk, Vano menoleh, menatap manik cokelat gelap itu seksama. "Dan Raka dulu hampir setiap hari bercerita tentang cewek petakilan super sembrono yang sanggup ngebuat dia jatuh cinta sampai lupa diri."

Memerah, apa gadis yang dimaksud itu adalah dirinya?

"Tapi begitu manis kalau sedang menangis," Vano melanjutkan kalimatnya. "Begitu hangat kalau Raka sedang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit," Vano menghela pelan. "Dan begitu menyedihkan saat menerima kabar kematian Raka."

Kiera menggigit bibirnya.

Kematian Raka.

Nyatanya, rasa itu masih sama sakitnya.

Kiera memejamkan mata sebentar, merasakan hembusan angin sore yang menusuk.

"Dan.." Vano berujar, ia meraih jemari Kiera lantas meremasnya pelan. "Gue rela untuk jadi pelarian lo. Sekarang atau pun selamanya."

Tersenyum lemah. Kiera mengangguk, ia mulai berkaca-kaca. "Makasih, Vano," gadis itu terisak. "Terimakasih b-banyak."

"Ssh," Vano mendekap tubuh mungil itu. "Nggak perlu menangis, gue nggak mau Raka ikutan sedih karena cewek yang dia sayang nangis kayak gini."

Memang. Ini benar-benar refleksi nyata seorang Raka Genida. Tapi setidaknya, rindu Kiera pada Raka sedikit terobati. Walau terdengar jahat, namun Vano terlalu nyata jika dianggap hanya sebuah pelarian, maka, saat itu pula Kiera belajar melepas. Melepaskan Raka yang sudah tertidur dengan tenang di sana.

Kadang, rencana Tuhan itu cukup membuat Kiera terkejut bukan main.

Lihat sekarang?

Vano datang, kembali menutup luka lama yang selalu berhasil mengiris setiap kebahagiaan yang Kiera miliki.

N E O N I A N

Hari ini, tiada sinar mentari, tertutup kelabu awan dan juga hampanya langit. Surai cokelat gadis dengan wajah oval tersebut beriak, berhamburan terkena terpaan angin sore. Setelah bercerita keluh kesah yang gadis itu rasakan, sebuah helaan nafas keluar begitu saja dari bibirnya. "Aku sayang Neo, Bunda," gadis itu mengigit bibir bawahnya. "Emang salah, ya?"

Bunda tersenyum, putrinya telah dewasa kali ini. Bunda mengelus puncak kepala putrinya, lalu berkata. "Nggak ada yang salah," ucap Bunda. "Kecuali kamu memang memaksakkan diri dan bersikeras membuat Neo untuk melihat kamu, padahal Neo sudah menolak," menoleh, Nian pandangi wajah dengan garis halus yang menghiasi raut wajah cantik Bunda. "Kamu tidak melakukan itu 'kan?"

NEONIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang