Tiga; Perkemahan

44 7 0
                                    

Sabtu pagi. Gadis dengan balutan jaket coklat tersebut kali ini berkacak pinggang sembari terus bolak-balik memperhatikan jam yang berada di tangannya. Sebuah decakkan kecil berhasil lolos dari bibir gadis tersebut. "NEO, CEPETAN!"

"Sabar kampret!" sosok pemuda berkaos putih itu akhirnya keluar dengan tentengan tas yang lumayan membuat Nian terperangah. Bagaimana tidak? Neo kali ini membawa begitu banyak barang yang mampu membuat dengusan keras dari bibir Nian.

"Neo, plis," gadis itu menepuk jidat kut-kuat. "Lo itu mau kemah ato pindahan hah?"

Mengerenyit. "Kemah lah."

"Terus kenapa itu barang yang lo bawa banyak banget," helaan sabar terdengar berat. "Balik. Jangan bawa barang yang nggak perlu. Nggak pake lama, kita udah mau telat."

"Tap-"

"Neo. Kita. Udah. Telat." Penekanan demi penekanan yang Nian buat berhasil membungkam bibir Neo.

Menghela. Pemuda itu berbalik dengan wajah tak minat. "Berasa babu gue, anjir," gumamnya miris.

NEONIAN

Setelah menunggu kurang lebih 5 menit, Neo kembali muncul dengan keadaan lebih baik dan barang bawaannya yang berukurang 2 kali lipat dari yang awal. Merasa cukup. Nian mengulurkan jemarinya lantas meraih lengan Neo dengan cepat lantas masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan semenjak tadi pagi.

"Pak jalannya ngebut, kalau bisa sampai kurang dari sepuluh menit saya bayar dua kali lipat," titah Nian mutlak.

Neo melongo dengan pandangan; plis, lo jangan gila.

Seringai khas bapak-bapak ala detektif menghiasi raut sang sopir yang menua, baru hendak memprotes, mobil yang mereka tumpangi pun melesat bah roket yang siap meluncur.

Taksi tersebut melaju seolah jalan yang kini penuh akan mobil-mobil pengendara lain itu tidak ada. Setiap tikungan dengan lihai supir taksi tersebut mengendarainya, dan setiap tikungan pula Neo memekik keras dengan puluhan umpatan kasar.

"Anjir. Anjir. Astaghfirullah."

Tepat 06.35 mereka sampai dengan sehat walafiat. Supir taksi tersebut menepati janjinya dengan datang kurang lebih 9 menit lebih awal, dan sesuai perjanjian Nian membayar dengan jumlah yang pastinya lebih banyak. Sebenarnya Nian merasa sedikit pusing, bagaimana tidak? ia juga manusia, yah, walaupun tadi sangat seru dan ia berharap bisa melakukan hal itu lagi.

"Makasih ya, Pak. Pertahankan itu,"  gadis itu memberi apresiasi yang cukup membuat Bapak supir taksi membusung bangga. Lantas ekor mata Nian bergerak mencari keberadaan Neo yang sudah terlebih dahulu keluar.

Tepat di ujung dekat selokan, pandangan Nian jatuh pada sosok pemuda familiar yang saat itu sedang membungkuk dengan wajah putih pucat. "Neo, lo kenapa?"

Mendongak. Neo memutar kepalanya 90 derajat. Ia daratkan tatapan sengit pada gadis yang kali ini berdiri tepat di sampingnya. "Sumpah ya, kalau aja lo bukan cewek, dari tadi udah gue gampar!"

"Dih. Galak." Nian cemberut, nemun telapak tangannya juga bergerak menepuk-nepuk pundak Neo dengan pelan lalu tersenyum menyebalkan. "Lo gini doang nyerah, ganti gender aja sana lo."

"BERISIK LO KAMPRET, GUE CEMPLUNGIN SELOKAN JUGA, " pekik Neo kemudian setelah melihat Nian beranjak kabur ke arah kerumunan peserta acara dari organisasi pecinta alam.

Dengan tertatih. Neo berusaha berjalan dengan tangan yang menopang perut.

Untung gue sayang. Kalau nggak juga udah gue gelindingin. Batinnya merutuk.

-NEONIAN-

"Para peserta di harapkan berkumpul sebentar!" begitu ucap pemuda berseragam khas panitia pecinta alam dengan toa yang setia bertengger di samping pundaknya. Nian yang sedari tadi sibuk meladeni omelan Neo pun diam lantas menoleh untuk  memperhatikan begitu juga dengan Neo yang sesekali masih mencibir tidak jelas.

"Kita akan berangkat menggunakan truk yang dipinjamkan pihak kepolisian untuk pergi menuju lokasi awal, jadi di harapkan para peserta segera bersiap!"

Semua kembali berhambur setelah pengumuman usai. Mereka sibuk membereskan barang dan mengecek kembali barang-barang yang akan di bawa. Terkecuali dua sejoli yang masih saja asik melanjutkan perdebatan tidak berguna mereka.

"Kalo tadi gue mati gimana!?"

"Aduh, Neo. Kita udah mau berangkat, jangan berisik dong," ucap Nian sekilas kemudian sibuk berjongkok memeriksa kembali barang yang di bawa oleh mereka.

"Tapi, gue masih ngga ter-"

"Neo," gadis itu mendongak, memasang wajah penuh melas. Oke sip, memang gadis laknat, ia selalu tahu cara untuk membuat Neo bungkam. "Sori, jangan marah lagi," lanjutnya lagi, kali ini sedikit lebih drama.

Menghela. Neo berjongkok, menyamakan pandangan mereka. "Jangan di ulangin lagi."

Sunghingan manis terukir dikedua sudut bibir gadis itu. "Janji. Hehe."

Setelahnya sebuah keheningan terjadi. Sepoi angin kala itu berhembus pelan seolah membelai mereka dalam sebuah ketenangan. Meragu. Nian hentikan pergerakannya, membuat Neo mendongak dengan tatapan heran. "Neo.." cicit gadis itu. "Hng, kok gue takut ya?"

Sebelah alis Neo terangkat. "Takut?"

"Iya, takut. Tapi nggak tahu karena apa."

Ntah mengapa, detik itu juga, pemuda beriris kelam tersebut ikut merasakan satu hal tak mengenakan. Sorot yang kian melayu dari gadis tersebut membuat satu retakan kecil yang membuatnya tak kuasa berkata.

Pagi berembun di temani langit kelabu, seolah menjadi satu pertanda ringan soal apa yang akan terjadi nanti.

"Neo.."

Tidak ada jawaban.

"Agneo Dallena.."

Masih sama.

Hingga suara lirih nyaris tidak terdengar berhasil membuat kedua telinga Neo memanas. "Gue takut.."

"Apaan sih lo! jangan bikin gue panik deh, jangan drama kayak gini seolah-olah ini hari terakhir lo hidup lah!" begitu ucap Neo.

"Mungkin.."

"Nian!" pekik tertahan Neo. Ia benci melihat gadis di hadapannya berbicara seperti itu. Terlalu benci.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Neo dengan kecemasannya.

Nian dengan keraguannya.

Sehingga mereka tak sadar, sesuatu yang sangat besar telah menanti mereka dan muncul di saat yang tepat.

****

Heyowatsap!

Semoga sukaa

See u next chapter!

Nian on mediaaa

Ciao

NEONIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang