"Eoseo oseyo."
Pintu kedai roti keluarga Kim terbuka. Sosok mungil muncul dari celah pintu.
Hanbin dihukum menjaga kedai selama satu bulan karena ia ketahuan kecanduan game yang menurut orang tuanya khusus untuk dewasa.
Siluet itu memutarkan bola matanya diam-diam. Ia masuk lalu mengambil keranjang roti di sudut ruangan.
Keranjangnya penuh dengan kulit roti yang bergesekan. Aroma roti yang baru keluar dari oven menyeruak masuk.
"Roti isi ayam sudah habis?"
"Ya. Sudah habis. Atau mau menunggu 10 menit lagi? Roti baru dipanggang."
Langkahnya mendekat ke arah Hanbin, meluruskan niat untuk menukarkan uangnya dengan potongan roti.
"Aku beli tiga roti isi ayam. Nanti antar ke rumahku bisa?"
"Noona,"
Jisoo meliriknya sekilas.
"Mianhamnida," Hanbin membungkuk.
Gadis itu hanya mendecih, "jangan lupa tiga roti isi ayam. Ini uangnya."
Lalu ia pergi dalam diam meninggalkan Hanbin dengan beribu rasa bersalah.
Awalnya Hanbin pikir gadis itu tak tersinggung dengan ucapannya. Tapi sudah tiga hari noona itu tak menyapanya. Oke, ini memang salahnya.
"Cepat masukkan roti isi ayam ini," Hanbyul mendikte kakaknya yang baru saja tersadar.
"Kau saja."
"Yakin? Eomㅡma!"
Tangannya cepat-cepat menutup mulut adik kecilnya itu agar hukumannya tak bertambah berat.
"Akan kujahit mulutmu itu biar aku bisa hidup dengan tenang." Hanbin melepaskan tangannya.
Hanbyul hanya menjulurkan lidahnya lalu melesat bak roket.
Kepulan uap dari roti hangat menyatu dengan udara di kedai roti sore itu. Roti tersebut kemudian dikemas dalam kantung dan siap menggoda selera.
Hanbin menyelundupkan cupcake cokelat ke dalam kantung plastik yang ia bawa lalu melangkah menuju ke rumah sebelah.
Hanya butuh waktu 3 detik untuk menemui Jisoo di depan rumahnya.
"Noona,"
Kali ini Jisoo benar-benar akan membunuh anak itu dengan tatapannya.
"Aaa jinjja, let's be friend. Okay?"
Gadis di depannya membenarkan surainya yang tertiup angin.
"Kau tahu? Gara-gara kau, aku masih ditertawakan di kelas."
"Aku benar-benar minta maaf."
"Ah sudahlah. Aku tak ingin berbicara denganmu."
"Ya aku pun!"
Gadis di depannya tersentak
"Maksudku, aku juga tak terlalu ingin berurusan denganmuㅡya itu maksudku, ah terserah. Hell, aku bisa mati tanpa game itu. Gara-gara hubungan kita yang memburuk, Ibu terus-terusan mengganti password wifi."
Jisoo melengkungkan bibirnya, "bukan urusanku."
Blam.
Pintu di hadapannya tertutup. Terasa seperti ditampar angin, Hanbin meraup wajahnya.
Sial. Aku akan tersiksa.
"Ya! Kembalikan cupcake-nya!"
"Hanbin!"
Hanbin beringsut meninggalkan rumah itu setelah mendengar suara ibunya.
•••
Hiruk pikuk khas remaja sekolahan mengusik tatapan Hanbin. Ia mengabsen satu persatu segerombolan ubin yang mencium tapak sepatunya.
Tadi pagi ia melihat Jisoo berangkat sendiri. Ya, tanpanya. Lagipula sudah satu minggu Jisoo bersekolah disini jadi wajar-wajar saja kalau ia sudah melalang buana.
"Tasnya bau sabu-sabu."
Ia mencoba menghalau segala perkataan seperti itu. Seperti sudah terbiasa.
"Astaga, jangan sampai mereka mencampurkan ekstasi ke dalam rotinya!"
"Ah! Pantas saja banyak orang yang ketagihan."
"Keluarga mereka pasti selalu bermain kotor."
"Menjijikkan! Aku tak mau makan roti buatan mereka lagi!"
Lalu mereka tertawa.
"Kau pernah mencoba ekstasi yang seperti apa," sebuah lengan mendarat mulus di bahunya, "Hanbin?"
Hanbin mencampakkan lengan itu dari bahunya yang lebar. Atensinya cukup membuat suhu di sekitar mereka memanas.
"Aku pernah mencoba semuanya. Bahkan sejak bayi."
Mereka semua tertawa. Senang mengolok-olok dan membuat lelucon yang menurut Hanbin sama sekali tidak lucu.
Satu jotosan melayang tepat di otot wajah anak laki-laki yang berada di depannya.
Hanbin mendecih, "wajahmu lebih tak berharga daripada adonan roti kedai ayahku."
Ia berjalan menggiring angin, tak menghiraukan dengungan bising di belakangnya.
Berapa detik kemudian ia membalikkan setengah tubuhnya, "oh ya, kalau kalian semua ketagihan dengan roti ayahku, itu karena roti ayahku enak. Dasar kalian sinting! Lidah saja sudah rusak."
Anak yang barusan mendapat hadiah dadakan dari Hanbin sempat ingin mengadu kepalan tangan dengannya namun dihentikan oleh pengikutnya.
Hanbin memutar tubuhnya lagi, hendak menuju kelas.
Langkah kakinya terhenti sesaat, seperti terhisap oleh waktu dan tak diizinkan melewatinya. Atensinya mengarah ke siswi yang menatapnya dengan pandangan yang sama sekali tak bisa ditebak.
Kalau kau punya pemikiran yang sama dengan mereka pun bukan urusanku.
Lalu ia pergi.
[>>>]
KAMU SEDANG MEMBACA
•Noona• // Hanbin×Jisoo
أدب الهواةHanbin mengutuk seseorang yang membuat beberapa peraturan yang tertulis di selembar kertas aneh itu. Peraturan itu diantaranya : 1. Jangan menyapaku terlalu sering. 2. Hanya kau yang tak boleh melayaniku ketika aku membeli roti isi di kedai ayahmu. ...