6

1.5K 223 16
                                    

Shania POV

Dia...benar-benar pergi. Entah, itu hanya feelingku saja. Sejak kejadian kemarin, dia sama sekali tidak mengabariku. Terakhir aku menanyakan dimana keberadaannya, tetapi belum dibalas sampai saat ini. Dan itu sekitar satu minggu yang lalu.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Hancur. Tentu hancur. Aku berharap lebih padanya. Dan aku berharap dia dapat membahagiakanku. Ternyata tidak. Selama ini aku hanya berjuang sendirian. Tanpa adanya balasan dari dia.

Bukan salah dia, salah aku. Aku yang terus-terusan mengusik kehidupannya. Tidak salah ia merasa sangat risih kepadaku. Aku sadar diri. Aku bukan seseorang yang berarti di matanya. Menurutnya, aku hanyalah seorang pengganggu.

Seandainya aku bisa mengingat kejadian-kejadian yang telah aku lupakan beberapa waktu yang lalu baik yang disengaja, maupun tidak disengaja. Seperti mengingat siapa yang telah membuat makhluk hidup yang sekarang berada di perutku ini.

Baiklah Shania, life must go on. With, or without her.

"Nih, mie ayam pesenan lo." Jeje meletakan kantong plastik di atas meja lalu berjalan menuju ke dapur. Aku mengerutkan keningku, bukannya aku mintanya sama Kinal ya? Kok jadi Jeje yang bawain?

"Iye, tadi Kinal ada urusan mendadak, jadi gue yang nganterin kesini." Jelas Jeje. Aku mengangguk-nganggukan kepalaku mengerti.

Jeje memberikan sebuah mangkok lengkap dengan sendok serta garpu. "Ibu-ibu hamil kudu di manjain biar gak sedih-sedih." Katanya sambil terkekeh.

Aku tersenyum pada Jeje. "Makasih ya, Je."

"Oiya sama-sama shay." Jawabnya lalu memainkan ponselnya.

Aku menghela napasku. Biasanya kalau jam segini aku sedang mengganggunya. Biasanya. Tapi sekarang nggak. Aduh, ayolah Shania, jangan mikirin dia terus!

"Hello everybody!" teriak seseorang yang gak lain pasti Nabilah. "Oy Je!" sapa Nabilah pada Jeje.

"Iye Bil, diem jangan berisik." Jawab Jeje. Nabilah memberengut.

"Eh Ibu-ibu hamil, lagi makan ni yeee." Goda Nabilah sambil mencolek lenganku. "Diem apa Bil." Kataku malas.

Nabilah terkekeh. "Iye iye sans," Nabilah menyandarkan tubuhnya. "Beby sialan emang. Bener-bener ilang kaya di telan bumi dia."

"Jangan ngomongin dia." Suara yang berasal dari arah pintu membuat kami semua menoleh. Kinal. Kinal berjalan mendekat kearah kami. "Shan, gue udah cariin lo apartement. Tadi gue juga udah liat sama Ve, gak gede-gede banget. Pas buat lo."

"Lho, apartement? Buat apaan?" tanyaku setelah itu menyuapkan mie ayam ke dalam mulutku.

Kinal duduk di antara Jeje dan Nabilah. "Lu kudu keluar dari sini, biar lo nggak inget si bangsat itu."

Satu hal yang aku ketahui, Kinal sangat membeci Beby. Sebenarnya aku tidak terima Kinal menyebut namanya kasar seperti itu, tapi aku bisa apa? Huh.

"Gue setuju," kata Nabilah menanggapi Kinal. "Lagipula lo bakal kesepian kalo disini, sendirian dirumah segede gini."

"Iye Shan, ikutin aja lah apa kata Kapten." Sahut Jeje sambil terkekeh.

Kinal menatapku. "Nurut sama gue. Ini yang terbaik buat lo. Nanti gue bantu angkut barang-barang lo."

"Hari ini juga?" tanyaku. Kinal mengangguk. "Lebih cepat lebih baik, kan?"

Huh, oke. Sepertinya mereka benar-benar membantu aku untuk melupakan kesedihanku itu. Tapi aku tidak yakin aku mampu melupakannya. Dia sangat berarti untukku. Walaupun dia lebih sering menyakitiku daripada membuatku bahagia. Sayang dan cinta tidak perlu ada alasan kan?

Afire Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang