01

31.5K 1.8K 260
                                    

Matanya menatap nyalang cowok itu, tatapan nggak suka tergambar dari wajahnya yang sengit, alisnya bertaut, cowok berseragam putih abu-abu itu mengepalkan tangan keras disamping tubuhnya.

Sedangkan orang yang ditatap hanya tersenyum remeh, cowok bertubuh jangkung itu mendengus melihat reaksi cowok di depannya.

Teo nggak terima. Sekarang miniatur bangunan sekolah dari sterofom yang sudah dibuat satu minggu ini telah hancur. Nggak lagi berbentuk. Remahannya terbang tertiup angin. Padahal, ia dan teman-temannya sudah bekerja keras untuk itu. Apalagi, lomba mading akan dimulai dua jam lagi.

Untuk sekarang, hanya amarah yang tersisa.

“Pokoknya harus ganti!” Teo berteriak. “Hari ini juga! Nggak mau tahu!”

“Ganti uang mau?” cowok itu buru-buru mengeluarkan dompetnya. Dua lembaran biru, terjulur kearahnya. “Palingan nilai uang ini lebih besar dari benda itu. Kembalian ambil deh.”

Teo makin meradang. Memang, harga sterofom ini nggak seberapa, belum lagi kertas asturo, manila, dan dua lem kertas nggak  sampai lima puluh ribu. Tapi kerja keras mereka nggak bisa digantikan oleh uang. Mereka udah mempersiapkan ini sejak jauh-jauh hari. Dengan berbagai konsep dan tentunya harapan untuk memenangkan lomba mading ini.

“Nggak  mau?” cowok itu meninggikan satu alis. Mengembuskan napas, dan kembali membuka dompetnya. “Nih, aku tambah lima puluh ribu. Cukup, kan?’

Teo bergeming. Menatap bengis cowok itu.

“Maumu apa, sih? Tinggal diterima apa susahnya, huh?” Cowok itu meninggi. Teo berdecih. Memalingkan wajah sejenak.

“Segitu remehnya kamu sama uang?”

Cowok itu menatap nggak mengerti.

“Kamu pikir semuanya bisa kamu selesaikan pake uang?” Teo meninggi.“Aku tahu kamu orang kaya. Oh maaf, tapi yang seharusnya aku bilang kaya itu orang tua kamu. Bukan kamu.” Teo menyipitkan mata. Mendramatisir tatapannya.

Cowok itu nggak terima. “Mau ngajak berantem?”

Teo terkesiap. Merasa tertantang. Namun dia ingat satu hal. Ibu bilang, sekolah tempat menimba ilmu. Bukan bermusuhan, apalagi beradu fisik. Teo nggak cemen, kok. Teo hanya tahu tempat dimana ia berada.

“Ini sekolah, bukan arena tinju.” Teo membalas. “Lagian nggak ada untungnya ngeladenin orang kayak kamu.”

Teo sadar diri, Teo berusaha menahan emosi, Teo belajar melupakan. Setelah mengembuskan napas, Teo segera berlalu. Memunguti sisa sterofom karena tabrakan tadi. Dia tahu cowok itu sengaja, karena jelas-jelas mereka berada diarah yang sama, Teo menyingkir, tapi cowok itu malah sengaja menyerempetkan bahunya. Membuat Teo terjatuh, juga miniaturnya rusak.

Tapi tiba-tiba sebuah tarikan membuat semua kembali berhamburan. Teo berpaling, dan sebuah hantaman mendarat mulus di wajahnya, tepat di pipi.

Teo sedikit mundur ke belakang, merasakan gilu dan juga panas. Merasa terpancing, amarah segera menguasai dirinya. Teo mengepalkan tangan kuat, guratan di dahi menunjukkan perasannya sekarang.

Teo bergerak cepat. Tanpa bisa menghindar, kepalan Teo tepat menghantam pipi cowok itu. Membuatnya tersungkur. Nggak peduli seberapa tinggi cowok itu dibanding Teo.

Terjadi aksi tarik-menarik, seragam mereka kusut penuh noda. Setelah sesi berguling dan saling tonjok, Teo berhasil terkunci di bawah tubuh itu. Teo nggak bisa bergerak. Seiring kepalan itu meninggi, semakin Teo mencoba memberontak.

Namun sebelum kepalan itu tepat melayang, satu detik sebelumnya Teo menyentakkan lututnya ke pantat cowok itu. Membuatnya terjungkal ke depan.

Melihat kesempatan, Teo mendominasi. Teo duduk diatas tubuh cowok itu, menghantam wajah yang terlindungi oleh dua tangan.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang