Witoto melemparnya ke atas ranjang. Di sana Tampan terbatuk. Setengah sakau. Sedangkan Witoto terus melemparkan tatapan nyalang itu. Seolah Tampan adalah pelaku kejahatan. Tiada ampun. Dan Witoto sebagai hakim. Sekaligus algojo yang siap menghabisi Tampan kapanpun.
"AYAH TIDAK MEMBESARKANMU UNTUK MENJADI SEORANG HOMO!!"
"..."
"KATAKAN! SIAPA TEO ITU!!"
Tampan mencoba bangkit. Bertumpu dengan siku kanannya. Sedang tangan kirinya memegangi lehernya yang perih. "Itu nggak penting."
"KATAKAN!!" Sebuah vas dilempar ke lantai. Serpihannya berhamburan. Terpencar di atas lantai. Sedang Tampan masih kukuh. Meskipun pipi Tampan perih, tidak serta merta menyurutkan tatapan menentang itu dari sana.
"Apa Ayah lupa? Aku udah bilang jangan campuri kehidupan aku!"
"Tapi tidak menjadi homo, Tampan!"
"Kenapa? Ayah takut dipermalukan? Takut kalo Tante Winda pergi karena aku homo?"
Witoto terdiam. Dengan deru napas memburu.
"Ayah nggak tahu apa-apa soal aku!"
"SETAN!!"
"Ampuuun, Paaaakkk!!" Surti menghambur. Memeluk Tampan kuat. Melindunginya dari tangan besar Witoto yang sempat terangkat. Memeluknya erat. Melindunginya dengan segenap tubuh ringkihnya. "Jangan, Paakk! Sudahhh! Sudahhhh!"
"Jangan ikut campur keluarga kami, Surti!" Witoto kepalang gila. Sampai lupa memanggil wanita itu "mbok" seperti biasanya.
"Aampuunn, Pakkk! Sudaahhh! Sudaahh cukuppp! Istighfarr, Paakkk. Ingat Gusti Allah!" Surti berusaha membela anak asuhnya. "Bapak ingat Allah, Paakk. Sudaahh. Sudahhh."
"Tampan anak saya! Saya punya hak!"
"Tapi mboten kersa kados niku, Pakk. Tampan putra panjenengan. Ndak seharusnya Bapak sekeras ini pada Tampann." Surti tidak henti-henti mengelus puncak kepala Tampan. Sambil sesekali memohon mendudukkan kepala. "Sesalah-salahnya anak ndak sepantasnya dihukum dengan kekerasan, Pakk."
"Tampan, siapa Teo itu?!"
Tampan membisu. Di balik bayangan Surti. Tampan meremang. Matanya buram terbiaskan air. Cukup merah hingga membuat matanya berkaca-kaca.
"Kalo memang itu yang kamu mau, ayah tidak bisa tinggal diam. Kamu akan melihatnya sendiri! Ayah peduli akan masa depan kamu! Ayah tidak ingin kamu rusak! Cepat atau lambat, Tampan. Lihat apa yang Ayah lakukan demi kamu." Witoto mengangguk sendiri. Seolah ia benar-benar yakin dengan apa yang ia katakan. Kaki besar itu berlalu pergi. Dengan deru napas memburu. Membanting pintu keras-keras. Sampai-sampai pintu itu terbuka kembali.
Dan saat itu lah Tampan menangis. Surti yang melihat wajah Tampan yang sudah diselimuti kepanikan lantas memeluknya erat-erat. Mengusap punggungnya iba. Tampan tidak bisa menutupi rasa takutnya. Terlebih ketakutannya pada Teo. Ayahnya pasti serius. Cepat atau lambat. Sesuatu akan merenggangkan hubungan mereka.
Tampan berhasil kabur dini hari itu. Membiarkan Mbok Surti memanggilnya dari kamar. Melewati kamar ayahnya yang terututup. Dan mengumpat kasar pada Mas Agus yang sempat menahannya ketika hendak melewati gerbang. Mas Agus mengerut dalam. Namun Tampan masa bodo.
"Juna?" Tepat pukul tiga pagi. Sandi mendapati Tampan berdiri lunglai di depan pintu. Rambutnya lusuh. Wajahnya merah sebelah. Ada bagian berdarah di ujung bibirnya.
Sandi menggiring Tampan ke kamarnya. Menahan rasa penasarannya ketika melihat wajah Tampan yang memar itu. Ya, tamparan Witoto cukup keras. Keras sekali. Bahkan tidak hanya di pipi. Sebelah rahangnya juga sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMPANTEO
Romance[BxB 17+] [END] copyright©2017 Original written by Naarenn 26 Feb 2017 - 18 Sep 2018 Teo membenci Tampan-anak kepala sekolah-sejak masa orisentasi siswa. Meski mereka belum pernah bertemu, tapi Tampan cukup terkenal dengan gelagat manja dan sikap d...