Tampan makan lahap siang itu. Teo sampai mengecap mulut beberapa kali. Cowok itu mirip anak kelaparan yang habis ditelantarkan orang tuanya. Mulutnya penuh daging bakso. Teo sampai prihatin melihat Tampan seperti itu. Memangnya ayahnya nggak ngasih sarapan hari ini?
“Kamu serius, nggak dikasih uang jajan sama bapak kamu?” Teo memastikan. Siapa tahu aja Tampan berbohong. Kan sia-sia Teo udah bersedia mentraktir.
Tampan cuma membalas gumaman. Mulut Tampan sibuk sekarang, nggak ada waktu meladeni pertanyaan yang sama dari Teo untuk kedua kalinya.
Kalo pun Tampan punya uang, cowok itu nggak akan repot-repot meminta belas kasihan Teo, kok.
Teo cuma bisa menunggu Tampan selesai makan. Melihat Tampan makan aja, udah membuat perut Teo kenyang.
“Jadi mau maafin aku, kan?” Teo menjeda sesi santai Tampan. Perutnya terasa penuh. Rasanya nggak etis sehabis makan terus lanjut berdiri. Kata Bunda Tampan dulu, kalo habis makan itu duduk, biarin dulu makanannya turun. Takutnya, kalo berdiri makanannya nggak akan jadi berkah.
“Thanks!”
“Kok, malah thanks, sih?”
“Iya, aku maafin! Bawel banget jadi orang?!” Tampan mengernyit.
Dirasa keperluannya selesai, dan berhubung Tampan juga udah mau memaafkannya, jadi sekarang waktunya Teo pergi.
***
Tampan termenung menunggu mobil ayahnya, sendiri, tepat disamping mobilnya. Cowok itu memeriksa jam di ponselnya beberapa kali, udah lima belas menit Tampan menunggu. Tapi sang ayah nggak kunjung menampakkan batang hidungnya. Disela menunggu, Tampan termenung. Entah kenapa, cowok itu sedikit mengingat sesuatu.
...
“Kok pake daun bawang, sih?! Ogah ah!” Tampan mendorong mangkuk bakso itu menjauh. Merengut. Melipat tangan di depan dada.
“Cuma daun bawang juga! Nggak bakal bikin kamu mati, kok!” Teo mendorong mangkuk itu kembali.
“Nggak! Nggak suka!”
“Tinggal dimakan apa susahnya, sih??” Teo mengerut heran. Menatap Tampan dengan mata memicing. Tapi cowok menyebalkan itu tetap bersikap enggan.
Teo mengembuskan napas. Seperti biasanya, Teo lebih mengalah. Masalah sepele seperti nggak akan pernah selesai kalau terus mendorong ego. Teo harus sabar.
Teo menarik mangkuk itu. Mengambil sendok di bibir mangkuk. Dengan teliti Teo mulai mengambil potongan daun bawang yang mengambang di permukaan kuah, menyingkirkannya ke piring kecil yang digunakan sebagai alas mangkuk.
Selama Teo melakukan itu, Tampan memerhatikannya. Diam-diam cowok itu menatap Teo. Ketika Teo melirik, Tampan membuang wajah, menatap arah lain, bersikap seolah nggak terjadi apapun. Dan ketika Teo mulai berkutat dengan mangkuk itu lagi, Tampan kembali menatap Teo. Begitu seterusnya.
“Nih! Sampe nggak dimakan aku siram juga ni bakso!” Teo mengancam. Alih-alih supaya bakso traktirannya itu nggak terbuang sia-sia. Teo mendorong mangkuk itu ke arah Tampan. Cowok itu masih menekuk wajah. Mengamati isi piring dengan seksama.
“Aman, kok! Cepet dimakan! Aku masih banyak tugas, nih!”
...
Tampan tersadar, seketika mengerutkan kening. “Kok aku jadi mikirin cucurut itu, sih?” tanyanya sendiri. Tampan menggeleng. Tak lama kemudian, cowok itu mendapati derap langkah mendekat yang tampak berjalan ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMPANTEO
Romance[BxB 17+] [END] copyright©2017 Original written by Naarenn 26 Feb 2017 - 18 Sep 2018 Teo membenci Tampan-anak kepala sekolah-sejak masa orisentasi siswa. Meski mereka belum pernah bertemu, tapi Tampan cukup terkenal dengan gelagat manja dan sikap d...