14

8.5K 939 141
                                    

“Pan! Tunggu!” Teo mengejar, mempercepat langkahnya menyusul cowok yang sudah jauh di depannya itu. Dua panggilan dihiraukannya. Memaksa cowok itu melangkah menyusulnya.

Teo nggak mau Tampan salah paham. Teo bukannya nggak mau dateng sesuai janjinya kemarin. Keadaan yang memaksanya begitu. Tapi sepertinya terlambat, Tampan udah terlanjut mutung. Teo nggak bisa membiarkan ini.

“Pan!” Tangan Teo ikut andil menghentikan Tampan. Cowok itu berhenti, tepat sebelum ia menginjak tangga pertama. Tampan melirik malas, memutar tangannya melepas kaitan Teo. “Pan! Dengerin aku dulu!”

Tampan diam, matanya menatap kedepan. Teo mengerutkan dahi. Menarik napas pendek. “Aku nyariin kamu kemaren. Aku udah muter-muter naik sepeda buat nemuin kamu. Hapeku lowbat. Aku juga sempet kepikiran kalo kamu pasti udah ngehubungin aku berkali-kali. Aku beneran minta maaf, Pan! Aku nggak bermaksud ingkar janji.”

Tampan nggak bereaksi. “Oh.” Hanya itu, lalu langkahnya kembali berlanjut.

Teo membelalak. Rupaya cowok itu bener-bener mutung level akut. Teo nggak tahu kalo Tampan semarah ini. Teo pernah berjumpa dengan Tampan dikala mutung, tapi nggak sampai seperti itu.

“Pan! Dengerin dulu napa!” Teo berlari naik tangga, kembali menjajari Tampan, malah langkahnya lebih cepat. Teo menghentikannya lagi, tepat di siku tangga, cowok itu menatap tajam. Menatapnya lurus-lurus.

“Paan, sih?” Tampan menaikkan satu alis, niat untuk enyah, namun tarikan kasar menghentikannya saat itu juga.

“Kamu beneran marah sama aku?”

“Pikir aja sendiri.”

“Pan!”

“…”

“Jawab!”

“Emang soal UN perlu dijawab.”

“Aku serius!”

“Yang lagi becanda juga siapa?”

Teo mendengus, masih memperdalam tatapannya, mengunci matanya pada Tampan.

“Ngapain melotoin? Nyoba baca pikiran? Maap, nggak mempan!” Tampan menyudahinya sepihak, menuntun langkah menaiki tangga. Teo yang melihat itu hanya bisa menepuk jidat. Tampan beneran mutung. Dia lagi nggak baikan. Teo nggak bisa tinggal diam.

***

Teo mencari cowok itu, Teo mulai putus asa. Tampan menghilang. Masa iya Tampan ditelen bumi siang ini? Cowok itu nggak ada di kantin, di perpus apalagi. Teo juga udah tanya temen XI IPA 3 dan hasilnya sama nihil. Teo di taman depan sekarang, Tampan juga nggak ada disana.

Masa iya Tampan ngambek sampai sebegitunya? Terlalu baperkah Tampan saat ini? Jujur, Teo jadi merasa bersalah sekarang. Cowok itu jadi menyesal udah melewatkan hari bersama cowok itu. Teo juga belum membuka kado dari Tampan. Rasanya nggak etis aja. Orang yang ngasih aja lagi gambek, main buka kado aja.

Namun tiba-tiba mata Teo menyipit. Menengadah ke atap sekolahnya yang berbentuk datar. Tepat di bibir atap, sebuah objek menarik perhatiannya. Berdiri menentang tanah.

Teo kesilauan, membuat bentuk teropong dengan jemarinya yang membingkai matanya.

Shit!

Tampan??

“T-Tampan?” Teo melongo. “Nggak! Ini gila!” cowok itu segera berlari. Menaiki tangga di gedung B, tempat barisan kelas X dan ruang karawitan ditempatkan. Teo menjadi bahan tatapan. Langkah gaduhnya menarik semua mata yang dilewatinya. Tapi cowok itu masa bodo. Tampan dalam bahaya!

Teo membuka pintu kayu, mendapati tangga memutar dengan sebuah pintu di ujungnya. Teo bergegas menaiki tangga, melewati satu anak tangga disetiap langkahnya.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang