20

6.4K 647 32
                                    

Tampan mengenggam erat tangan itu, menelusuri lorong dengan wajah menengadah. Tak banyak yang ia lakukan, Tampan hanya mengikuti nalurinya: Tetap menggenggam, terus melangkah, menepis semua lirikkan yang datang dari segala arah yang tertuju ke arahnya.

Tampan sesekali melambat, melirik ke samping, melihat keraguan pada wajah di sisinya itu.

Tampan memberi isyarat, sedikit menarik genggamannya, mengerat. Setelah wajah itu mendongak dan menatap wajahnya dengan ketidakpastian, Tampan tersenyum. Seolah berkata “it’s okay, aku disini”.

Teo tersenyum berat. menempatkan matanya kembali ke lantai. Mengamati bagaimana kakinya melangkah, dan tentunya, mengamati bagaimana cara Tampan mengenggam tangannya.

Erat, namun lembut.

Dan terkadang, ibu jari itu bergerak, mengelus ruas-ruas lainnya.

Sontak semua orang terhenti. Mata mereka langsung terpaku. Terfokus dengan sendirinya.

Keputusan Tampan sudah bulat. Ini bukan lagi tentang Tampan yang harus menjadi orang lain. Ini bukan tentang Tampan yang harus memakai topengnya. Bukan tentang Tampan yang terus bersembunyi di balik rumah siputnya.

Tapi ini tentang siapa diri Tampan sebenarnya.

Tentang Tampan yang sesungguhnya.

Dan tentunya, tentang pada siapa Tampan bersanding.

Karena Tampan telah berkesimpulan…

… bahwa ini yang terbaik untuk Teo.

“Pan?”

Teo memberanikan diri menengadah, sedikit berat, namun selirik matanya mendapat sekilap wajah Tampan, keyakinan justru terpancar dari wajahnya. Tampan makin menggenggam tangannya erat. Meletakkannya di samping tubuh. Enggan memposisikan Teo untuk mengekor, pokoknya Teo harus tetap berada di sampingnya.

Teo makin tersipu. Mata itu memberanikan diri untuk kembali melirik. Teo menjumpai raut wajah sama. Tatapan itu tampak biasa, namun penuh keyakinan. Dengan dagu yang tak menurun satu centi sekalipun, Tampan bisa membuat belasan mata di sekelilingnya itu nggak berarti apapun.

Teo nggak bisa berhenti mengulum senyum. Menyembunyikannya dengan menatap kakinya sendiri. Tanpa ragu, Teo turut mengeratkan genggaman tangannya.

Membuat sosok di sampingnya menoleh.

Melempar senyuman kecil.

Yang nggak bisa Teo lihat karena sibuk dengan kebahagiannya sendiri.

Mungkin jika melihat itu, Teo akan jauh lebih bahagia.

***

Jujur, Teo terkejut.

Tampan benar-benar melakukannya.

Yang buat Teo…  hal itu sangat berisiko untuknya.

Bukannya Teo nggak senang.

Cumaaa… hal itu menjadikan Teo sedikit hawatir.

“Kamu mau punyaku?” Tampan meninggikan alis. Menyodorkan sesuap ice cream coklat yang sedikit berasap. Menyembunyikan beberapa Choco-chips yang tersendok di dalamnya.

Tanpa ragu Teo menerimanya. Rasa dingin, manis, nan lembut langsung memenuhi dinding-dinding mulutnya.

“Pan?”

“Hm?”

Teo menatap lutut.

Hening…

“Kamu… nggak papa?”

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang