30

4.5K 528 48
                                    

Teo membiarkan Arfan mendekat. Meniti langkah ke arahnya. Perlahan posisi mereka sejajar. Dengan Arfan yang lebih dulu melempar senyum. Mencoba mencairkan suasana yang telah lama membeku.

"Apa kabar?"

Teo kalap. Menatap juluran tangan itu tak mengerti. Entah kenapa batin Teo masih sesak. Teo membiarkan tangan itu berdebu.

Arfan meringis. Meremas lembut tangannya yang hampa.

"Aku kaget ternyata kamu juga di sini. Udah lama ya?"

Teo membisu. 'Udah lama?' kalimat macam apa itu? Apa Arfan bermaksud mengajaknya ke masa lalu? Mengenang masa dimana ia sering pergi menghadiri pensi sekolah-sekolah besar di kota ini bersama?

"Aku ke sini cuma mau minta maaf. Setelah semua apa yang aku lakuin."

Titik dimana Teo menatap akhirnya kabur, kalimat barusan berhasil membuat lelaki itu mendongak. Mengalihkan pandangannya. Menatap wajah pias itu.

"Aku emang brengsek. Aku mantan yang pantes dibenci. Aku sadar, perbuatanku dulu udah amat sangat merugikan kamu. Perbuatan gilaku. Itu semata karena aku cuma pengen dapetin kamu lagi."

"..."

"Tapi aku paham. Setelah kertas diremas, pasti akan meninggalkan bekas. Pun juga kamu."

"..."

"Kenangan memang nggak bisa dirubah, tapi seenggaknya, manusia bisa berubah."

"..."

"Setelah ini semua terserah kamu. Aku akan berterima kasih seandainya kamu mau masih kenal aku. Tapi kalo kamu lebih memilih pergi dan menganggap kita adalah dua orang asing, aku nggak masalah. Toh kamu udah ada Tampan."

Teo membeku. Mencerna setiap kata-kata itu. Meresidu di otaknya. Mengendap di dasar benak. Ketika waktu membawanya kembali pada kenyataan, Teo mendapati satu fakta baru. Namun ia masih ragu.

Apa Arfan sudah benar-benar berubah?

Teo masih ingat kenangan pahit itu. Jelas. Setiap detailnya. Bahkan Teo kerap kali muak ketika cuplikan-cuplikan itu melintas di pikirannya. Namun mendengar kalimat Arfan barusan, peti kenangan pahit itu seolah tertutupi. Seolah kata-kata Arfan barusan memperlihatkan Teo bagaimana ia menyesali tindakkannya dulu. Yang sudah memaksa Teo. Yang sudah membuat Teo malu. Bahkan tindakkan bunuh diri Arfan yang untungnya bisa dicegah yang Arfan sendiri merasa sakit jiwa ketika mengingatnya.

Sekarang, ia berdiri di sini. Mengutarakan maksud kata demi kata. Menguntai sebuah kalimat merentet yang sedikit mengikat hatinya. Sebagai manusia yang berperasaan, apa mungkin Teo mengabaikannya?

"Sedikit sulit ngelupain semuanya. Tapi aku nggak bisa menutup pintu maaf seseorang. Mungkin butuh waktu lama. Seperti yang kamu tahu, sulit mengembalikan remasan kertas seperti semula."

"Jadi dimaafin?"

Teo menatap arah lain, memandang ke arah panggung. Sebelum akhirnya pandangannya kembali jatuh ke Arfan.

"Ya."

"Makasih. Aku harap kita masih bisa berhubungan. Meskipun jarang, yang penting masih bisa komunikasi."

"Aku harap begitu."

"Teo?" Tampan kembali. Membawa bungkusan putih berembun. Mendadak tatapannya jatuh ke Arfan. Seketika pikiran negatif menyelimuti pikirannya. "Ngapain di sini?"

"Kamu beruntung punya pacar kayak Tampan. Dia memang pantes kamu dapetin." Arfan menatap Teo tersenyum.

"Jelas, lah!" Ujar Tampan angkuh. Arfan tersenyum miring.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang