28

5.9K 602 60
                                    



Chase Coy - Never Change
Source: Youtube
🎵

Teo nggak tahu kenapa Tampan bisa setega itu. Membuat kesimpulan yang bahkan dia sendiri belum tahu kepastiannya. Tampan terlalu cepat menyimpulkan, memakannya mentah-mentah, membuahkan rasa sakit yang kini Teo rasakan.

Apa Tampan pikir Teo sejahat itu? Selingkuh dibelakangnya dengan cara seperti itu? Lantas, apa gunanya sebuah kepercayaan? Apa Tampan meragukan cintanya selama ini? Hanya karena Sandi? Bahkan teman semasa kecilnya sendiri?

Mungkin Teo akan merasa baik-baik saja jika seandainya Tampan mengajaknya bicara. Bertanya baik-baik. Kenapa ia bisa bersama Sandi saat itu. Teo dengan tulus akan menjelaskannya, kok, jujur, apa adanya, tanpa sebuah kebohongan apapun.

Namun cara Tampan mengekspresikan kekesalannya itu yang membuat Teo kecewa. Tampan menghilang beberapa hari. Teo kesulitan tuk berjumpa dengannya. Seolah cowok itu telah membuat sebuah sekat raksasa yang bahkan Teo sendiri kesusahan tuk melewatinya. Dan ketika bisa dihubungi pun, Tampan lebih memilih mengabaikannya. Apa Tampan pikir itu tidak membuat Teo sakit?

Dan terjadilah hari itu.

Hari terburuk sepanjang hidupnya.

Hari yang penuh dengan tekanan.

Hari yang bahkan Teo nggak menyangka akan menjadi hari yang menyesakkan untuknya.

Tampan menudingnya yang tidak-tidak. Pikiran buruknya telah menodai hatinya. Kekesalan itu bukan tanpa sebab, namun sebab itu bukanlah kenyataan yang sebetulnya terjadi. Tampan salah tangkap. Tampan salah mengambil kesimpulan. Dan apa yang telah Tampan lakukan kepadanya itu benar-benar menyakitkan. Beberapa tamparan kalimat mengenai ulu hati Teo. Yang mana semua itu berhasil membuatnya terluka.

Teo mungkin salah. Harusnya Teo bisa menjelaskannya pada Tampan. Namun lidahnya terlanjur kelu. Hatinya sudah kadung memerih. Nggak ada lagi yang harus diucapkan pada saat itu. Nggak ada yang bisa dipikirkannya. Ia hanya bisa merasa kecewa. Ia hanya bisa merasa sakit.

“Teo,” pintupun terbuka. Joko mendapati Teo tersentak karna melamun. “Ada Tampan di luar. Nyariin kamu.”

Teo meremas selimut. Tak segera membalas ayahnya. “Bilang aja Teo lagi tidur, Pak.”

“Lho, kok, gitu?” namun Teo tak acuh. Menarik selimut, membungkus tubuhnya. Tanpa mendengar ucapan Joko lebih dulu, tubuh Teo tak lagi dilihatnya bergerak.

“Teonya lagi tidur.”

“Teo… tidur?”

“Kalo Nak Tampan ke sini nanti sore lagi, nggakpapa.” Joko tersenyum. “Nak Tampan?” membuat cowok itu menengadah. Embusan napas berat menelusur dari dada pria setengah baya itu. Mengawali kalimatnya. “Jaga hubungan kalian baik-baik, ya?” mengakhiri dengan usapan di bahu kanan Tampan. Berlotak, dan berlalu meninggalkannya.

Sesaat, Tampan termenung. Katupan pintu itu serta merta menyadarkannya akan sesuatu. Ucapan Joko tadi seolah memberinya pesan.

Jujur, Tampan menyesal. Tampan nggak seharusnya berbuat seperti itu. Ia telah dibutakan ketakutannya sendiri. Ketakutan akan kehilangan Teo. Yang mana tindakan itu malah lebih mendekatkan dirinya pada yang namanya “kehilangan” itu sendiri. Teo sudah membuat sekat sekarang. Teo tidak dalam keadaan baik. Dan Tampan benar-benar menyesal, pun merasa bersalah.

Tampan tahu ia sudah sangat keterlaluan. Harusnya Tampan lebih bisa mengontrol diri. Tampan nggak seharusnya menuding Teo dengan cara seperti itu. Hanya karena sekilap pandangan yang Tampan tak tahu benar-salahnya. Hanya karena sekilap penglihatan yang langsung membakar hatinya. Yang mana semua itu membawanya pada sebuah kehancuran. Keretakkan hubungan yang  sedang ia alami sekarang.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang