35 - END

8.5K 557 133
                                    

"Pak, Bu, Teo gay."

Lantas dua punggung baya itu menegak. Nggak memberikan reaksi apapun. Terdiam. Saling menatap dalam hening. Sedangkan Teo sudah bersiap untuk semuanya. Semua yang akan dia dapatkan. Teo sudah siap mendapat hukuman. Apapun itu. Keputusannya sudah bulat. Teo juga bukan anak kecil lagi. Teo ingin melegakkan hatinya sendiri. Menggali rahasia yang ia pendam selama ini. Bukan perkara mudah memang. Tapi mau bagaimana lagi? Teo harus melakukannya. Teo ingin keluarganya tahu tentang ia apa adanya. Ibarat sebuah benda, Teo ingin seperti plastik yang bening. Karena itulah Teo sebenarnya. Bukan Teo yang mereka tahu selama ini.

"Sejak kapan kamu seperti itu?" Joko bersuara dingin. Namun Teo nggak menemukan nada meninggi di sana. Meskipun begitu, Teo masih enggan mengangkat wajah.

"Teo seperti itu sejak SMP, yah."

Lagi-lagi hening. Nggak ada tanggapan apapun. Ruangan ini disulap menjadi kuburan dalam beberapa detik.

"Teo merasa 'berbeda' sejak lulus kelas 6. Teo rasa, Teo ndak suka perempuan. Di saat yang lain pacaran, Teo sama sekali ndak tertarik dengan yang namanya perempuan. Teo ndak tahu kenapa. Sampai Teo sadar sepenuhnya kalau Teo 'berbeda', waktu Teo kelas 9, Pak, Bu."

Teo meremas lututnya sendiri. Telapak tangannya berkeringat dingin. Badannya panas dingin karena gugup. Teo pernah mengagumi perempuan, memang. Itu pun kelas 4. Tapi entah kenapa pandangannya berbeda ketika melihat anak lelaki pindahan ketika kelas 5. Rasanya berdebar. Entahlah. Untuk seukuran anak SD, lelaki pindahan itu cukup tampan baginya.

"Kalo begitu... jangan dipaksakan."

Suara Joko, membuat Teo mengendurkan remasan.

"Kalo memang itu yang kamu rasakan. Jalani saja. Tapi kalo memang sudah waktunya berubah, bapak harap kamu 'kembali' cepat-cepat."

"Apa Tampan juga sama?" Wulan mengambil alih. Berhasil membuat Teo mendongak. Menatap wajah-wajah berdamai itu.

"I-iya."

Lagi-lagi. Mereka saling bertatapan. Nggak ada satu katapun yang meluncur dari mulut mereka. Wulan menatap lantai, sedangkan Joko memilih menatap anaknya lagi.

"Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Empat bulan, Pak."

"Jadi yang dikatakan Pak Witoto itu ndak benar? Tentang Tampan yang pengedar obat?"

"Sebetulnya, itu karena Pak Witoto ndak mengijinkan Teo deket sama Tampan. Pak Witoto berusaha keras memisahkan kami dengan berbagai cara. Termasuk, cerita ke Bapak sama Ibu kalo Tampan bandar obat. Juga... uang bantuan yang udah Pak Witoto kasih."

"..."

"Tapi Bapak sama Ibu ndak perlu khawatir. Semua itu sudah Teo atasi sendiri, kok."

"Dan kamu ndak cerita sama bapak/ibu?" Joko meninggikan alis. Teo bisa melihat matanya memerah. Sedikit berkilat.

"Teo ndak mau Bapak sama Ibu marah." Teo menunduk.

Ya, memang itu yang Teo khawatirkan selama ini. Lebih tepatnya, Teo nggak mau menyakiti hati mereka. Teo nggak mau membuat mereka kecewa. Itulah alasan kenapa Teo memilih untuk meninggalkan Tampan saat itu. Karena ia tahu, secinta-cintanya seseorang kepada kita, masih besar cinta orang tua.

"Kalau begitu, bapak sama ibu mau minta maaf sama nak Tampan. Karena kami sudah bertindak buruk sama dia."

"Bapak sama Ibu ndak usah khawatir. Tampan ndak pernah marah."

Joko mengembuskan napas. Bahunya merosot. Menyulam senyum tipis.

"Ajak Tampan ke sini lain kali." Wulan tersenyum.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang