26

5.3K 568 34
                                    

Belakangan ini, Sandi menjadi teman terdekatnya. Teo jadi nggak kesepian. Semenjak pulangnya Raihan karena libur panjangnya telah usai, Sandi menjadi pengganti yang mengisi waktu luangnya. Sandi nggak menginap, hanya saja, Sandi sering main karena bosan di rumah. Sandi itu homeschooling. Belum lagi, dia pindahan dari Jakarta. Jadi maklum, teman satu-satunya Sandi yang enak diajak main ya cuma Teo.

Tapi Teo nggak keberatan. Dengan adanya Sandi, Teo jadi nggak kesepian. Sandi juga cukup membantu kok di rumahnya. Kadang, Sandi bantu-bantu ibunya Teo di dapur. Kalo dulu Tampan yang disuruh, tapi kali ini Sandi nawarin dirinya sendiri.

Beberapa waktu lalu, Sandi pernah curhat sama Teo. Soal orang yang dia suka. Tentu Teo mau jadi pendengar yang baik. Sandi bilang, Sandi bingung buat mengungkapkan perasaannya. Sandi ragu, kalo perasaannya itu bakal ditolak mentah-mentah. Sandi nggak punya keberanian lebih. Sandi juga ragu, apa orang yang dia suka punya perasaan yang sama terhadapnya. Maka dari itu, Sandi nggak punya pilihan lain selain memendam perasaannya itu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin dipendam, semakin Sandi nggak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Kalo gitu ungkapin aja.” Teo memberi saran. “Toh nggak ada salahnya, kan? Selain kamu tahu jawabannya, hati kamu jadi lebih lega.”

“Kalo dia nolak gimana? Gua takut, dia bakal ngejauhin gua setelah itu.”

“Semua itu ada resikonya, San. Ada min-plusnya. Tinggal kamu milih salah satu di antara beberapa pilihan itu.”

“Menurut lu gua harus apa?”

“Berani.” Teo mengepalkan tangan ke udara. “Kamu udah nyoba buat PDKT?”

“Udah, sih. Tapi gua belum lihat tanda-tanda lampu ijo dari dia. Gua nggak bisa lihat perbedaannya. Dari awal gua udah ngerasain sikap baiknya dia. Gua bingung, apa mending gua mundur aja, Yo?”

“Terus ngebiarin perasaanmu tenggelem gitu aja tanpa kepastian?” Teo menaikkan satu alis. “Aku percaya, kok, kamu mampu. Tinggal datengin aja, utarain maksud kamu, blablabla, kalo udah mantep, terus bilang “aku suka sama kamu”, udah? Soal dia nerima atau enggak, itu urusan belakangan. Yang penting kamu udah dapet kepastiannya. Nggak ngambang kek perasaanmu sekarang.”

Teo benar, Sandi belum dapet “kepastian” itu. Perasaannya mengambang gitu aja, tanpa kepastian, tanpa jawaban yang belakangan ini membuatnya galau dan uring-uringan. Tapi kelemahan Sandi satu: kurang berani. Sandi terlalu takut mengungkapkan perasaannya. Alasannya, dia nggak mau mendapatkan jawaban yang membuatnya kecewa. Meskipun itu mutlak adanya, dan nggak bisa Sandi hindari begitu saja.

Sandi hanya ingin “Ya” dan “Mau”. Terlepas dari dua kata itu, Sandi benar-benar takut mendengarnya. Karena itu lah, Sandi menyembunyikan perasaannya sekarang.

Di atas nakas, ponsel Teo bergetar. Mengalihkan dua wajah itu bersamaan.

“Tunggu bentar!” Teo lantas beranjak mendekat. Sandi membiarkannya pergi, melihatnya mengangkat ponsel, mengawalinya dengan senyuman.

Teo mulai bercengkrama, menyudut di depan jendela, menjauh kan dirinya dari Sandi yang tampak diam menatapnya. Teo sesekali terkekeh, tanpa kentara menetapkan senyuman di bibir manisnya. Perbincangan hangat itu menguap begitu saja. Merambatkan tawa yang terdengar lirih namun mampu teraup di kedua telinganya.

Sandi menyudahinya, mengembalikan matanya lepas dari perbincangan hangat itu. Menatap ujung jarinya sendiri, tersenyum kecil.

Seperti ini kah rasanya menyembunyikan perasaan?

***

“Kamu bohong! Kenapa nggak ngabarin aku kemaren? Kamu lupa udah janji buat ngabarin kalo sampe rumah?”

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang