31

4.2K 509 65
                                    

Seminggu kemudian orangtua Tampan menikah. Rumah besar itu disulap menjadi istana dalam satu malam. Acara diselenggarakan tertutup, hanya dihadiri keluarga, terangga, dan sanak saudara.

Tampan meremas pahanya di kamar. Mengamati dirinya di pantulan cermin. Jelas. Ia tampak lebih tampan di sana. Balutan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu itu membuatnya tampak sedikit berbeda dari biasanya. Namun, itu tidak menutupi keadaan bahwa dirinya masih dilanda dilema.

Ia akan mempunyai ibu baru.

Apakah Tampan akan kembali merasakan kebahagiaan yang dulu telah lama hilang?

Atau justru sebaliknya?

"Den Tampan?" Derit pintu menghenyakkannya, Mbok Surti menampakkan tubuhnya setengah di pintu. "Aden sudah ditunggu di bawah."

Tampan bukannya tidak mau mempunyai ibu baru. Ia hanya takut tidak merasakan apa itu namanya kasih sayang. Kasih sayang dalam arti sesungguhnya. Bukan karena harta benda dan materi lainnya. Ia sangat mendambakan itu.

Selama dua jam itu Tampan menyaksikan prosesi perubahan status ayahnya, yang kini bukan lagi seorang duda. Ayahnya tampak bahagia. Senyuman itu tidak pernah sirna. Terus terpancar di sana. Seolah telah tertempel dan menunjukkan ekspresi itu untuk selamanya.

"Tampan, untung sekarang, jangan sungkan panggil Tante 'ibu', 'bunda', atau 'mama'. Sekarang kita adalah keluarga."

"Tolong bimbing Tampan ya, Ma."

"Iya, Pa."

Untuk hal itu, Tampan rasa belum siap. Pandangan Tampan tertuju pada lelaki yang datang mendekat. Jas setelan abu-abunya tampak senada dengan parasnya yang tampan.

"Akhirnya kita resmi sodaraan."

Kehidupan Tampan seolah berubah dalam satu malam. Dimana ia memiliki dua anggota keluarga baru. Satu ibu dan satu orang kakak. Namun mereka belum memutuskan untuk pindah cepat-cepat. Karena berbagai hal, mereka tetap tinggal di rumah lama terlebih dahulu. Namun kemungkinan untuk pindah jelas adanya.

Tapi anehnya. Melihat hal itu. Tampan tidak merasa bahagia. Barang secuil.

"Selamat!" Teo menjulurkan tangannya. Menyebrangi meja yang membatasi mereka berdua. Kantin tampak ramai hari ini. Untungnya mereka bisa datang lebih awal.

Melihat juluran tangan itu Tampan mengerut. Heran. "Selamat buat?"

"Kamu?"

"Aku kenapa?"

"Punya ibu baru?"

Tampan tercenung. Melihat Tampan yang enggan membalas sapaan tangannya, Teo menurunkannya perlahan.

"Nggak ada yang perlu diselamatin."

Dalam sekali pandang, Teo tahu suasana hati Tampan sedang buruk. Dia tidak kelihatan seperti biasanya. Tampan tampak asing. Ada aura ''bukan Tampan" di sana.

Tapi Teo enggan mengulik. Ia sungkan bertanya. Ia tahu resiko bertanya hal sensitif saat bad mood itu hanya akan membuat masalah. Jadi Teo menyimpannya dalam-dalam.

***

"Kamu kelihatan beda hari ini." Teo bertanya pelan. Penuh kehati-hatian. Ini sudah empat jam setelah Teo menjumpai perasaan janggal pada Tampan di kantin tadi. Dan kini masih berlanjut. Entah kenapa Tampan tampak dingin. Pemikir. Dan sedikit murung. Tanpa ekspresi.

Parkiran sekolah sepi. Ini hari kelima Teo membawa motor ke sekolah. Tampan ingin mengawasi sampai Teo keluar sekolah, ingin sekedar memastikan.

"Ada masalah ya?" Tanya Teo menyelidik.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang