16

8.8K 850 85
                                    

Tampan sama kali nggak beranggapan buruk tentang Arfan, hanya saja, apa yang udah dilakukannya hari itu sudah sangat gila. Kenapa cowok itu bisa berbuat senekat itu? Mencelakakan diri sendiri. Berniat bunuh diri. Memangnya ada yang ingin bertanggung jawab karena itu?

Tampan bukannya kenapa-napa, Tampan cuma nggak mau apa yang Arfan lakukan itu berimbas buruk pada Teo. Ketika seseorang melakukan bunuh diri namun ada orang lain disana, apa orang yang melihatnya akan beranggapan bahwa orang itu telah mati bunuh diri? Nggak, mereka pasti akan beranggapan kalau ini adalah kasus pembunuhan. Dan terduga kasus itu otomatis merujuk pada seseorang yang bersamanya waktu itu, Teo, cowok itu disana. Untung saat itu Tampan bergerak cepat, mimpi buruk bisa dihindari.

Meninggalkan pembahasan soal Arfan, Tampan lapar sekarang. Perutnya keroncongan. Cowok itu sengaja mampir ke rumah makan sederhana, memesan menu paket hemat karena Tampan lupa mengambil uang di ATM.

Harusnya Teo ada disini bersamanya sekarang. Tapi cowok itu ada acara katanya. Saudaranya menikah. Sebagai saudara yang terikat ikatan darah, rasanya nggak etis kalo nggak melibatkan diri dalam acara sakral tersebut. Orang jawa bilang ‘kudu ngormati’. Jadi yaaa… Tampan nggak bisa ganggu.

“Juna?” suara itu menolehkannya. Seorang lelaki tengah berdiri nggak jauh darinya, menatapnya ragu. Kemeja putih berbalut sweater navy membalut tubuh jangkungnya. Rambutnya yang berjambul terlihat rapi dengan potongan tipis di bagian pinggirnya, memberikan kesan bersih pada garis wajahnya yang lembut.  Mata minimalisnya terus menatap Tampan, antara pasti nggak pasti. Antara yakin nggak yakin kalau seseorang yang disapanya itu memanglah cowok yang dulu dikenalnya.

Tampan turut meragu. “Sandi?”

Mata cowok itu melebar, meskipun tetap terlihat sipit. “Anjir! Kemana aja lu?!” cowok bernama Sandi itu mendekat, memeluk singkat. Seolah nggak percaya kalau itu teman lamanya, Sandi mengamati wajah Tampan dari dekat. Mentoel-toel pipinya, “Ini beneran lu, kan??”

“Jangan toel-toel, ah!” Tampan menepis kasar. Berwajah masam.

“Nggak salah lagi, ini beneran lu! Masih sensian kek dulu!” Sandi tersenyum lebar. Diakhiri sebuah kekehan kecil yang membuat Tampan tersenyum kecut.

Tampan mengusap wajahnya kasar, “Udah duduk!”

Sandi menjejakkan pantatnya di kursi depan Tampan. Sandi nggak nyangka bisa bertemu dengan Tampan saat ini. Sandi merasa beruntung bisa bertemu Tampan, cowok itu merindukannyaa, rindu kebersamaannya dulu. Dulu, Sandi sering menghabiskan waktu bersama Tampan. Sandi sering main ke rumah Tampan. Minta dimasakin omlet sama Bunda Ainun. Namun kebersamaan itu nggak terasa lagi ketika Tampan memutuskan untuk pindah. Selepas kelas satu SMP, Tampan meninggalkan Sandi.

“Lu nggak nanya kabar gua?”

“Penting, kah?”

Sandi mendecak lidah. “Peresan dikit, kek! Nggak ada basa-basinya sama sekali!”

“Lah di Facebook sering chatting, juga!”

“Kan di Facebook! Ini kan live! Face to face!”

Tampan mengalah. Cowok itu mencoba melunak. “Gimana kabar?”

“Nah gitu, dong! Baik. Lu?”

“Hmm.” Tampan mengangguk. “Baik juga.”

“Lu kapan balik Jakarta?”

“Ngapain ke Jakarta rumah gue aja disini!”

Oh iyaya, Sandi menggaruk kepala yang nggak gatal. “Bokap lu baik?”

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang