09

10.2K 1K 131
                                    

Sore yang cerah mengawali pagi yang berkabut. Hamparan selimut putih yang mengambang di antara ranting pohon sedikit menghalau sinar keemasan di atasnya. Dinginnya pagi merasuk ke setiap napas bagi siapa yang terbangun pagi itu.

Suasana seperti itu membuat Klara berinisiatif melakukan sesuatu. Sekarang, semangkuk mie rebus dengan sayuran dan satu telur mata sapi mengepul hangat di hadapannya. Klara tersenyum puas. Membayangkan reaksi seseorang ketika Klara memberikan ini untuknya.

Dengan beralaskan piring kecil, Klara membawa mangkuk itu di depan tubuhnya. Pandangannya mengedar ke setiap sudut lapangan. Mencari ke setiap sudut tenda. Klara tahu, dia nggak semalas cowok pada umumnya. Klara paham betul dia cowok yang rajin kalau soal bangun pagi. Jadi nggak ayal kalau niatnya pagi ini nggak akan terbuang sia-sia.

Dan disana, di bawah pohon cemara. Duduk termangu sembari menyesap sesuatu dari gelasnya yang berasap.

“Arfan!” Langkah Klara melompat-lompat kecil. Cowok itu langsung mendongak. Pandangan mereka beradu. Tanpa disuruh, senyuman lebar tercipta di bibir demila Klara. “Lagi apa?”

“Duduk. Sinih!” Arfan menepuk rerumputan disampingnya.

“Aku buatin ini loh buat kamuu.” Klara tersenyum lebar. Menyodorkan mangkuk berasap itu di samping tubuh Arfan. Namun selama alis Klara terangkat, cewek itu nggak menemukan tatapan berarti dari wajah Arfan. Tatapan Klara menyurut. Matanya menelisik ke setiap inci wajah Arfan. Mencari sesuatu.

“Kamu kenapa? Kok diem?” Klara mengangkat alis heran. Arfan nggak seperti biasanya. Cowok itu selalu bereaksi ketika Klara datang. Entah memulai suatu perbincangan, atau yang lainnya. Namun sekarang malah sebaliknya.

“Kamu sakit, ya?” Klara menempelkan punggung tangannya di dahi Arfan. Berharap Arfan baik-baik saja. Namun baru dua detik tangan itu menempel, sebuah tarikan menyingkirkan tangan Klara. Membuat cewek itu tercenung.

“Fan?”

Arfan bergeming, pandangan terus menatap ke depan. Sesekali mengamati kakinya sendiri yang bersila. Mengembuskan napas, lalu kembali menatap ke depan.

“Fan? Are you okay?"

Arfan masih bergeming, jakunnya bergerak turun, mengawali tolehan Arfan ke arah Klara. “Aku mau kamu jawab jujur, Ra.”

Klara mengerut. “For what?”

Arfan menarik napas, “Sejak kapan kamu tahu aku pernah berhubungan sama Teo?”

Klara bergeming, menatap manik gelap yang menangkap tatapannya. Klara enggan menjawab.

“Dan sejak kapan kamu berani macam-macam sama Teo?”

Klara menatap manik Arfan bergantian. Menggeleng singkat. Menyingkirkan rambut depannya keatas. “Aku nggak ngerti sama ucapanmu, fan.”

“Aku tahu semuanya, ra!” Arfan serius. Menatap Klara lurus-lurus.

“Apa kamu tega kita berantem sepagi ini?”

Arfan bergeming, tetap pada posisinya.

“Aku ngelakuin itu karna aku peduli sama kamu, fan!”

“Peduli atas apa?” Arfan mengerut. “Peduli atas egomu itu? Mempermalukan Teo tanpa alasan? Kamu pikir tindakanmu itu lucu, ra?”

Klara menggeleng. Matanya mengernyit. “Kamu….”

“Jangan pernah ganggu Teo lagi!” Tukas Arfan lirih. Menatap Klara lurus. Sekali tarikan napas Arfan beranjak dari posisinya. Arfan sudah final. Klara sesak, napasnya tak beraturan menatap sosok yang mulai menghilang di balik barisan tenda. Meninggalkan Klara yang sedikit berkaca. Meninggalkan luka abstrak yang jelas terasa di hatinya.

TAMPANTEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang