Pagi yang cerah, cahaya matahari perlahan masuk ke kamar pemilik surai indigo. Alarm miliknya berbunyi nyaring. Segera ia matikan alarm yang mengusik mimpi indahnya. Jam 7.30 pagi, sepertinya dia salah menyetel alarm kemarin malam. Ia bergegas merapikan kamarnya, lalu beranjak untuk menjalankan ritual paginya.
Setelah penampilannya sudah rapi, dia menuju ke ruang makan untuk sarapan. Di sana sang ayah membaca koran; ibu menyiapkan sarapan; kakak merevisi skripsi; dan adik menatap serius layar handphone-nya.
.
"Selamat pagi, Ayah, Ibu, Hanabi, Kak Neji," sapa Hinata.
"Pagi, Kak Hinata," jawab Hanabi dengan semangat tanpa melepas pandangannya dari layar handphone-nya.
"Ibu, bolehkah nanti aku pulang ke Shibuya? Aku merindukan apartemenku." Hinata sudah bosan di rumah ini.
"Boleh, Ibu tidak akan melarangmu. Kenapa kau merindukan apartemenmu itu?" Hikari mengelus pelan puncak kepala Hinata.
"Terima kasih, Ibu. Aku bosan di sini, Hanabi selalu menggangguku ketika belajar. Aku hanya ingin belajar dengan tenang, Ibu." Hanabi sering berteriak-teriak tidak jelas saat dia bermain game di kamar Hinata.
"Hinata, bagaimana sekolahmu?" Tidak biasanya Hiashi bertanya hal seperti itu.
"Tenang saja, Ayah. Aku tidak akan membuatmu malu karena nilaiku. Aku mempertahankan nilaiku agar tetap menjadi yang pertama." Hinata memang tidak ingin ayahnya kecewa.
"Baguslah Hinata, kau mirip Neji yang rajin belajar, tidak seperti Hanabi yang rutin bermain game online." Hiashi mengalihkan pandangannya ke koran.
"Ayah, aku juga belajar. Ayah tidak melihatku belajar karena sibuk dengan dokumen mengerikan itu." Ternyata Hanabi mendengar pembicaraan Hinata dan ayahnya.
"Makanan sudah siap, lekas berdoa, lalu makanlah masakanku yang enak ini." Hikari mulai memejamkan matanya untuk berdoa. Mereka bertiga pun begitu.
.
"Selamat pagi." Setibanya di kelas, Hinata mengucapkan salam dengan suara pelan.
"Pagi," sahut teman-teman Hinata dengan malas.
"Pagi, Hinata." Sahabat Hinata, Yamanaka Ino, membalas sapaan dengan semangat.
"Ino, apa kau tahu kalau Kak Sakura dekat dengan Kak Naruto?" tanya Hinata penasaran. Dia segera duduk untuk mendengar jawabannya.
"Itu memang benar, tapi mereka hanya sahabat. Mereka pun tak selalu berdua." Ino up to date mengetahui tentang penghuni sekolah. Dia adalah ratu gosip.
"Oh, kukira mereka pacaran." Siapa yang tidak mengira mereka pacaran jikalau mereka selalu bercanda ria seperti sepasang kekasih pada umumnya?
"Apa jangan-jangan, kau jatuh cinta pada Kak Naruto? Wah, kau sudah besar sekarang."
"Bu ... bukan be ... begitu." Hinata tergagap, rona merah muda muncul di pipinya. Hinata akui memang jatuh cinta padanya sejak pertama kali dia bertemu dengannya.
"Hinata. Kenapa kau malah melamun?" Pertanyaan Ino mengembalikan kesadaran Hinata.
"Aku hanya memikirkan tugas hari lalu, Ino. Aku belum menyelesaikannya. Soalnya terlalu rumit untuk kukerjakan." Hinata berbohong pada Ino, tugas hari lalu sudah dia selesaikan sedari awal.
"Jangan terlalu dipikirkan, Hinata. Lagipula tugas itu dikumpulkan lusa." Ino terlalu meremehkan tugasnya. Sahabat Hinata ini memang malas jika dihadapkan soal rumit. Dia lebih menyukai seni.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Shitteru
RandomToday, I have a hundred wishes that I want to make come true, someday. Once is you will love me. Hinata bahagia dengan adanya Naruto di sampingnya. Hinata berkeyakinan tidak akan jatuh cinta kepada siapa pun kecuali Naruto. Ketika hubungan mereka p...