Chelsea mengeluarkan setumpuk kartu undangan dari tasnya. Ia menoleh, mengelilingi pandangannya di kelas yang sudah ramai.
Yuki dan Ai sedang ada di pojok kelas, memperbincangkan serial drama yang masih mereka tonton bersama siswi lainnya. Percakapan dan obrolan biasa yang seharusnya bisa menghiburnya saat ini. Tapi, kenapa keramaian itu mendadak terasa sepi?
Chelsea melirik tumpukan kartu yang ia genggam. Kartu itu berwarna merah muda manis, dibaluti pita berwarna hitam yang menandakan kalau itu bukan pesta ulang tahun atau kebahagiaan. Melainkan pesta perpisahan untuk kepulangannya ke Indonesia.
Astaga.
Chelsea merasakan pundaknya lemas dan ia merasa ragu untuk membagikan kartu itu. Ia menoleh ke arah Yuki, gadis itu tepat sedang menoleh ke arahnya juga. Dengan sedikit terkejut, Yuki tersadar sesaat lalu langsung melambaikan tangan dengan gaya ceria ke arahnya. Chelsea mengangkat senyum paksaan. Lalu dengan gerak canggung, ia melangkah menghampiri kumpulan gadis-gadis yang kini sedang menatapinya dari jauh. Chelsea melihat raut bertanya-tanya mulai berhamburan di wajah mereka.
"Apa itu?" tanya Yuki dengan suara kerasnya. Matanya tak beralih dari kartu ucapan yang digenggamnya sesampainya ia di sana.
"Kartu undangan," jawab Chelsea pendek.
Ai nampak menaikan alis, "untuk siapa? Kau ulang tahun?" wajah Yuki di sebelahnya seketika berubah dan ia langsung bangkit dengan riang dan memeluk Chelsea cepat.
"Otanjoubi Omedettou, Asuka-san!" suaranya cempreng bagaikan gadis manja merasuki telinga Chelsea seketika.
"Yu---Yuki... ini bukan... ulang tahunku," sahut Chelsea gugup sambil berusaha melepaskan rangkulan gadis itu. Wajah Yuki yang tadinya riang kini berubah datar dan termenung.
"Bukan?" Ai angkat bicara lalu merebut satu kartu dari tangannya lalu membukanya cepat.
Ai mengernyit keras.
"Perpisahan?!" ia mengangkat wajah heran, dibalas semua orang yang mulai melongokan kepalanya ke kartu di tangan Ai. Chelsea menelan ludah, berusaha tenang.
"Kau... mau pulang?" tanya Ai lagi. Wajah Yuki berubah kecut, ada semburat sedih yang nampak di matanya.
"Ya... Sudah saatnya," Chelsea mengangkat senyum palsu lalu berusaha mengendalikan suaranya supaya tidak terdengar serak.
"Tapi... kenapa mendadak sekali?" tanya Ai lagi.
Chelsea tertegun beberapa saat, membiarkan semua orang menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
"Aku---maksudku, Ayahku, perusahaan kami yang ada di Indonesia sudah membaik dan sudah waktunya pulang..."
Terdengar "oh" yang panjang dan parau dari Yuki, lalu dengan sekali gerakan ia merenggut leher Chelsea hingga menempel dengan kepalanya lagi.
"Aku akan sangat merindukanmu! Aah! Kenapa secepat ini?! Kau bahkan belum kuajak menonton Festival Kimono di Tokyo nanti!"
Chelsea menoleh dengan senyum samar, "tenanglah, aku kan masih bisa bermain ke Tokyo lagi..."
Yuki memajukan bibirnya dengan gerak sedih berlebihan, membuat perut Chelsea tergelitik sedikit.
"Lalu, kau sudah memberitahu Ryu?" tanya Ai dengan suara pelan yang hanya bisa di dengar oleh keduanya.
Chelsea merasakan wajahnya yang memucat dan ketegangan menyelubungi kepalanya. Tatapan mata Ai yang terus melihatnya membuatnya semakin sulit untuk berkata-kata.
"Sudah kuurus. Kau... tak perlu membahasnya lagi, okay?"
Chelsea tersenyum sekilas lalu mulai membagikan kartu-kartu kepada gadis-gadis itu lalu kembali beranjak ke luar kelas untuk membagikannya pada yang lain.
Tapi tangan Ai menahannya lagi, membuat Chelsea harus menerka ketegangan apalagi yang sedang menunggunya.
"Kau yakin, ingin melalukan ini?" tanya Ai sedikit membersitkan luka didalam hatinya.
Chelsea melihat genggaman tangan Ai yang menggenggamnya, lalu beralih lagi kewajah gadis itu.
"Seharusnya aku yakin, bukan?"
***
Setelah selesai membagikan kartu di ruang ekstrakulikuler menggambar, ia langsung beralih ke lorong untuk segera kembali ke kelas.
Kartu di tangannya sudah tinggal dua, dan semua orang sudah mendapatkannya. Walaupun Chelsea membagikan dengan setengah bernyawa, tapi ia hanya ingin semua ini selesai.
Sudah banyak pertanyaan yang simpang siur saat ia membagikan kartu. Baik itu pertanyaan atau pernyataan, semuanya mengacu pada kesedihan yang sebetulnya tak ingin ia rasakan.
Jam istirahat sudah hampir usai, sebentar lagi belokan lorong ke kelas setelah itu, hari ini selesai.
Pohon-pohon rindang menutupi bagian beranda sekolah, hangat mentari menaungi kulitnya, setidaknya hari ini tidak begitu dingin. Musim gugur yang hangat. Aneh. Tapi inilah kehidupan. Kau tak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karna hanya ada satu pilihan pasti. Maju atau mundur.
Dan Chelsea memilih maju, hingga tanpa sadar, langkahnya terhenti oleh seseorang yang mendadak muncul tepat saat ia berbelok di lorong.
Sepatu pantopel hitam memaku di depannya. Tak bergerak dan tak bergeming. Chelsea mengangkat wajah dengan pandangan lesu lalu tersentak beberapa saat.
"Jadi... hari itu sudah ada?" ia membuka suara.
Chelsea merasakan bola matanya yang mulai berlari-lari keluar dari perasaan yang ia sembunyikan, berharap bersitan luka itu tak nampak seutuhnya.
Ryu tak beralih, pesona matanya pun tak berubah. Persis seperti apa yang sangat ia rindukan.
"Ya, ini..." ujarnya dengan serak yang tertahan. Sebelah tangannya menyodorkan kartu yang tinggal sisa satu itu.
Ryu menurunkan dagunya, mengamati sodoran tangannya yang tak dihiraukan.
"Kau ingin aku datang?"
Chelsea mengangkat wajah, berusaha menahan semua perasaannya yang mulai bergejolak kacau.
"Ya... aku ingin kau datang.."
"Setidaknya... aku ingin memastikan kalau hubungan kita akan baik-baik saja," tambah Chelsea dengan suara ragu.
Ryu tak menjawab, matanya sibuk mengamati kartu itu. Tatapannya kosong dan tangannya nampak meremas lembaran itu.
"Baiklah. Terimakasih telah mengundangku, kuharap kau..." suara pria itu tertahan, dengan gerak refleks, mata Chelsea beralih ke wajahnya.
"Kuharap kau bahagia di sana."
Chelsea merasa tersendat, tapi ia segera mengambil alih suasana.
"Kau juga. Meskipun sampai sekarang aku tidak tahu yang sebenarnya, tapi aku berharap suatu saat nanti, masalah itu selesai dan kau, bisa hidup dengan bebas."
Ryu balas menatapnya. Sementara itu waktu berputar lambat. Sekilas, banyak kejadian yang tiba-tiba lalu-lalang melintasi benaknya. Chelsea benar-benar tak bisa melupakan saat-saat di mana ia pertama kali menginjakan kaki ke Tokyo, duduk di kursi sekolahnya, berkenalan dengan Ryu, merasakan hal yang tak pernah ia rasakan, dan memiliki Ryu hanya ada di dalam kenangan ini. Kenangan Tokyo yang menyimpan beribu tanda tanya walau di sana selalu ada tanda bahaya jika suatu saat nanti kau mengetahui jawabannya.
Meski begitu, Chelsea tak menyesal. Karna sekarang ia tahu, mencintai adalah bukan paksaan. Melainkan sesuatu yang mengalir begitu saja, tanpa tahu akhirnya seperti apa. Mencintai adalah hal murni, dan itu akan selalu terjadi.
Chelsea merasakan angin pelan mengangkat poni pendek Ryu, mengubah sedikit posisinya. Dalam samar-samar suara angin, Chelsea mendengar Ryu mengatakan sesuatu.
"Apa kau ingin tahu kenapa aku takut memberitahumu masa laluku?"
Chelsea tertegun.
****
Dipaksain update, sebagai permintaan maaf diriku yg sudah lama ga update hehe. Buat yg masih stay, jgn lupa crita ini di vote yaa. Aku sangat berterimakasih bagi kalian yg masih menunggu kelanjutannya, buat yg vote dan komen, lafyu bgt deh🙆 hehe
Okay pkoknya gulir terus ya, sambil gulir, sambil menerka ria yaa😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Kiss
Teen FictionCompleted. #543 inTeenFiction 30Sept2017 #99 in Romance 3Mar2022 Ryu Otosaka pemilik manik cokelat yang penuh pesona. Bertemu dengan Chelsea, Asuka Matsumoto, gadis dari Indonesia yang sama sekali tidak menyukainya. ©Copyright 2016 Nice McQueen Seri...