Ada mahasiswa membawa nama kecil, ia terlihat sibuk dengan usahanya, berjalan tanpa kenal lelah, lalu turun ke jalan, menjembatani kepentingan dengan birokrasi, Ia terlihat sangat luar biasa, dari sederet aktivitas kampus lainnya.
Kekhawatirannya cuman ada satu, ketika bekerja lalu menjadi orang besar, siap-siap saja kata-kata hangat muncul dari teman seperjuangan dimasa kuliah. Mereka tidak segan-segan menghakiminya sebagai pragmatis. Mahasiswa idealis yang berubah menjadi pragmatis setelah lulus kuliah.
Seorang mahasiswa yang dari awal pragmatis, mentargetkan lulus kuliah cepat, dengan IPK tinggi, mempunyai beragam sertifikat dari berbagai organisasi, setelah lulus langsung bekerja diperusahaan besar.
Lalu bekerja keras mencapai level yang lebih tinggi dikalangan sosial, menikah, lalu punya anak dan hidup sejahtera. Itu semua adalah rencana hidupnya, tapi begitu ia merasakan bekerja diperusahaan besar, tiba-tiba ia berpikir :
Sebenarnya untuk apa aku hidup dan bekerja? Apakah semata-mata karena materi? Ia pun berjalan menuju kelas dengan yang langkah cepat, sambil berpikir kalau memilih bekerja tidak dibayar pun tidak apa-apa. "Teman-temannya sering mengatakan, mahasiswa genre ini adalah mahasiswa pragmatis yang menjadi idealis."
Di delapan kali pertemuan, aku sudah tiga kali tak mengikuti jam mata kuliah. Sedikit lagi akan tamat riwayatku, ini baru persoalan absen.
"Kalau mereka jujur pada dasarnya hampir semua mahasiswa malas untuk masuk kelas, karena sistem pendidikan yang kehilangan rohnya".
Sambil berjalan ke ruangan, orang-orang menyibukan diri dengan kepentingan masing-masing, mereka bahkan tidak tahu, kalau beberepa dari mereka turut prihatin sampai mengorbankan diri untuk turun ke jalanan dengan resiko yang tinggi.
Berjalan kemudian merapikan rambut yang sedikit berantakan, dengan wajah tertunduk, pada saat memasuki ruangan. Kulirik dengan ujung mata, ternyata mereka memperhatikanku. Aku langsung bergegas mencari kursi kosong, seorang dosen pun melihatku berjalan ke pojok belakang.
Ini adalah mid semester sebelum pergantian dosen kedua. Tiba-tiba dosen langsung menegurku dengan suara geram.
"Siapa namamu?" Dosenpun bertanya seperti tak masuk akal, seorang pengajar yang baik tidak pantas bertanya seperti itu. Sambil menggaruk kepala aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.
"Kamu tahu tidak ini jam berapa?"
"Apa yang salah Pak?" Ruangan yang tadinya berisik, tiba-tiba langsung hening. Suasan pecah, aku tak dapat meredam amarahku.
"Bapak tidak lihat kalau di luar ruangan sedang kacau?" Jawab Jenna berusaha melawan, dengan nada sedikit menggebuh.
"Apakah dengan alasan lambat aku tak bisa ujian Pak?" Sepertinya kata itu menampar, pikir Jenna. Dosen pun langsung diam. Semua orang di ruangan melirikku. Aku memberontak karena aku paham. Ujar Jenna tanpa mengeluarkan kata lagi.
Kebetulan hari itu laki-laki di kelas belum ada yang datang. Penyakit menular laki-laki, lambat bangun pagi. Aku merasa senang, karena kesalahanku membuat semua wanita di ruangan melirikku.
Seorang yang tak kukenal tiba-tiba menawarkan jaketnya padaku.
"Pakai saja." Seorang perempuan yang cantik, memakai kacamata, kira-kira tinggi tubuhnya 165 cm. Baik sekali pikirku dengan senyum tipis.
"Kamu itu kalau masuk kelas selalu pakai kaos oblong." Ia seolah-olah memarahiku. Tak ada satu patah kata pun yang bisa ku keluarkan. Aku hanya mengangguk kecil. Perhatiannya benar-benar buat aku terus memandanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEOPHILIA
RomanceApakah waktu membiarkannya harus berpikir lebih dari dua kali, hatiku tak ingin lagi berkelana, aku telah dipasak oleh beberapa rindu. Dari sekian banyak waktu untuk memikirkannya. Ia seperti resolusi segala hal akan cinta. Membentuk sel-sel rindu d...