Saat itu jam dinding tepat berdiri tegak ke atas, orang-orang dengan berbagai macam aktivitas, ada yang sibuk membaca, gombalin cewek, sampai main-main gitar di depan kelas, Jenna hanya fokus pada perempuan yang sedang membacakan puisi, ia sangat menikmatinya, sepertinya ia tidak kehilangan kesadaran.
Puisi yang sedang dibacakan adalah karya Jenna yang beberapa hari lalu ia simpan di mading kampus. Ia merasa bangga karena karyanya sedang di dalami oleh perempuan itu.
Pundaknya kena tepukan dari seseorang, sesaat mematahkan perhatiannya.
"kamu lagi apa?"
"Dari tadi aku perhatikan kamu cuma diam, kamu sakit?" Ia hanya menggeleng-geleng kepala.
"Tuh lihat," kata Jenna sambil mengarahkan tangannya ke depan.
"perempuan itu, iya kenapa?
"Dia lagi membaca puisi karayaku" Ini kali pertama ada seseorang yang membacakan puisiku di depan umum, walaupun bukan dalam acara resmi. Paling tidak hatiku sedikit bergetar. Sambil menatap wajah Airi.
"Sudah berapa kali kamu buat puisi untuk seseorang?" Tanya Airi dengan wajah sedikit malu, bolehlah sesekali buatkan untuk aku. Jenna hanya memandangnya.
"Sebenarnya!" Suara Jenna tiba-tiba tersendat.
"Sebenarnya apa? Tegas Airi meliriknya memaksa menjawab."
Tangan Airi berusaha masuk untuk memegang jidatnya, berharap kalau Jenna dalam keadaan baik-baik saja, namun ia menghalangi tangannya, berusaha untuk melepaskan. Airi nampak kaget. Mereka lama bertatapan tanpa kata. Airi melihat kedua tangannya sedang berpegangan tangan dengannya, Airi berusaha untuk melepaskannya, ia melihat seorang disekitarnya, merasa khawatir.
"Kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu, kamu mau apa?" jantungnya berdegup kencang.
"Airi diam." Matanya melihat tidak lagi seperti biasanya.
Beberapa saat kemudian Airi menawarkan untuk pergi dari depan kelasnya, dengan alasan kalau sedikit lagi ada jam kuliah yang mau masuk.
"Ikut aku, aku tidak percaya dengan apa yang kau katakan. Apa benar yang kamu ucapkan tadi adalah cinta?" Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan cinta, jawab Airi sambil mengelus-ngelus jari-jarinya. Apa yang hendak kau katakan perlu ku perjelas. Bagiku cinta itu terlalu bayak kebohongan mainstream yang di umbar-umbar.
"Sebenarnya kau tak perlu mengatakan itu padaku".
"Bukan kata yang aku butuhkan dari seseorang yang mencintaiku". Tapi ada hal-hal yang membuat aku lebih tertarik daripada kata-kata. Jawab Airi dengan keberaniannya bicara.
Aku tak bermaksud untuk membuat kamu kecewa, perlulah kamu letakkan kembali apa yang telah kamu katakan, aku tidak lebih baik dari yang kamu pikirkan selama ini. Sudah terlalu banyak orang-orang yang terjebak dengan rasa, termasuk kamu Jenna. Kadang-kadang kedekatanku dengan lelaki sering menyamai persepsi kamu.
"Apa yang salah dari yang aku lakukan?". Tanya Airi wajahnya seperti membeku,
"mungkin karena cinta perlu emosi, barangkali awalnya rindu dari sebuah pertemuan, yang menghasilkan air mata."
Beberapa saat setelah mendekati taman, Jenna kemudian menyambar sebuah tangkai bunga yang berduri, sengaja karena kekesalannya terhadap Airi.
"Kamu lihat ini, ini sama sekali bukan apa-apa, cinta mampu menyembuhkan luka fisik, tapi tidak setelah patah hati.
"Airi nampak kaget melihat tangannya mulai meneteskan darah. Berhenti sejenak, gerak tubuhnya tegak, ia menatap Jenna dengan muka marah. Sambil meraih tangan, beberapa duri masih tertancap di tangan Jenna. Airi tiba-tiba histeris ia memaksanya untuk duduk, mengeluarkan tisu dari dalam tasnya. Ia hanya melihat sikap Airi yang penuh perhatian. Tangan kiri masih memegang pergelangan tangan sementara tangan kanan menahan darah, raut wajahnya memecah menjadi hening, ia nampak kaget karena tingkahnya yang melukai dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEOPHILIA
RomanceApakah waktu membiarkannya harus berpikir lebih dari dua kali, hatiku tak ingin lagi berkelana, aku telah dipasak oleh beberapa rindu. Dari sekian banyak waktu untuk memikirkannya. Ia seperti resolusi segala hal akan cinta. Membentuk sel-sel rindu d...