Kucing Memijat Nenek

26 1 0
                                    


Ia mulai mengajakku untuk menepati janji, kala itu senja baru saja berlalu. Langit-langit yang tadinya memar kini berubah menjadi gelap. Ia adalah soseorang yang aneh, hampir-hampir di setiap kata yang ia keluarkan tak masuk akal, dan begitu sulit untuk dimengerti. Tapi ia begitu mengasyikkan. Mampu melihat kondisi di mana harus bersenda-gurau, di mana ia harus serius, dan marah sekaligus.

Sehari sebelum itu, aku benar-benar marah padanya. Karena ia tiba-tiba berubah, aku tak tahu persis apa sebabnya. Mungkin karena masalah dari luar. Tapi aku menanyakan kenapa kamu harus menghindar. Ia kemudian menjawab.

"Apa yang kau takutkan?"

Sungguh aku tak mengerti maksudnya.

"Tidak." Kataku seraya menundukkan wajah padanya, Suasana tiba-tiba hening, jelang beberapa menit kemudian. Ia mulai bercerita kembali.

"Kita pakai satu kendaraan saja." Jawabnya padaku sembari meminta kunci motor.

"Aku khawatir kalau kamu juga membawa motor, perjalanan kita lumayan jauh. Katanya lagi sambil mendorong motorku untuk masuk ke dalam halaman.

"Ini tempat siapa?" Sambil melihat rumah dengan halaman yang dikelilingi kamar-kamar kecil di kiri kanannya. Bentuk bangunannya cukup tua. Aku kembali duduk.

"Rumah paman Bair" Jadi silsilah keluarganya akan ku ceritakan setelah kamu naik. Tangan kanannya mulai menarik gas motor dengan perlahan.

"Nenek bersaudara sama pemilik rumah ini" Ia meninggal sekitar dua tahun lalu, paman Bair itu adalah anak bungsunya. Ia tinggal sendiri di rumah ini. Ditemani seorang penjaga rumah untuk membersihkan halaman, dan mengurus tempat ini. Karena warisan ini adalah salah satu warisan paling berharga menurutnya. Ia sudah berkeluarga, mempunyai 3 anak, istrinya tinggal disebuah apartemen di Jakarta bersama anak bungsunya. Anak keduanya berada di Makassar tinggal bersama nenek dari istrinya. Anak pertamanya sedang kuliah di Samarinda.

Dulu sejak pertama aku aku datang ke tempat itu, ada beberapa yang menurutku aneh.

"Kamu pernah melihat kucing memijat kaki si tuannya?" seumur-umur selama aku hidup baru kali itu melihatnya, menurutku cukup lucu, tapi meninggalkan pertanyaan. Waktu itu tak sengaja aku melihatnya. Aku langsung mengatakan.

"Wah kuncingnya hebat Nek" Ia kemudian senyum seraya menanyakan kabar ayahku.

"Baik-baik saja Nek"

"Dulu aku pernah membeli sarung sama bapakmu" Kata nenek, aku hanya senyum kemudian bergegas pergi.

Sungguh aku tidak jatuh cinta padanya, aku tak bisa menipu diriku sendiri karena nyatanya memang seperti itu. Tapi satu hal yang tak ingin kunaifkan, aku tak bisa menghakimi waktu. Sama seperti yang ia katakan ketika hendak menanyakan padanya.

"Apa tujuanmu ke depan?"

"Sangat absurd" Tapi aku membayangkan wajahnya ada beberapa kalimat yang ia sembunyikan. Kali ini aku malam mingguan bersamanya untuk menikmati pantai, aku sudah mempunyai pacar. Kini malam ini harus bersamanya, karena sudah terlanjur janji, dan lupa juga kalau malam ini adalah malam minggu.

Setelah ia memarkirkan kendaraan. Ia mengajakku untuk duduk disebuah tembok penghalang air karena akan merusaki jalan, panjang temboknya sekitar sepuluh kilo meter, yang membentang di teluk pesisir pantai.

"Hari ini aku tidak melihatmu menghisap rokok, tumben."

"Berapa kali kamu tersinggung saat aku hendak melarangmu menghisap rokok." Tanyaku padanya dengan muka senyum, karena ia sudah tidak melakukan kebiasaan buruk. 

"Aku benci pada seorang perokok. Sangat membahayakan kesehatan orang lain, tidak hanya itu. Tapi lebih-lebih untuk dirinya sendiri."

"Aku berhenti karena semalam nafasku tiba-tiba sesak." Aku tak tahu kenikmatan itu sampai kapan tersingkirkan dari hidupku, aku tak bisa janji bahwa suatu saat kamu menemukan aku sedang merokok, tapi tidak dihadapanmu.


Maaf belum selesai Hi hi hi : Penasaran saja dulu!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang