Perlahan berjalan, ia melihat pandangan menarik di jarak kurang lebih dua puluh meter. Rasa penasaraanya semakin kuat, langkah kakinya berjalan menghampiri. Ia perlahan berjalan menghampirinya, di tatapnya seorang penjual sambil bertanya.
"Mas udah berapa lama jualan disini, kok aku baru lihat ya?"
"Barusan mbak nongkrong di bagian sini, cari suasana baru."
"Oh gitu, heran aja karena baru kali ini ada penjual kopi tanpilannya anti mainstream dengan barang sekucukupnya, kursi sama mejanya cuma satu.
Ada sesuatu yang membuatnya bergetar. Tatapan Airi yang menghunjam sama sekali tidak berkurang intensitasnya.
"Emang jualannya harus di pinggir jalan yang ada trotoar?
"Lihat saja kursi sama mejanya cuma satu. Kalau nda kreatif mau makan apa." Ujar sang penjual kopi jalanan.
"Karena kamu pengunjung pertama, kali ini kopinya gratis untuk kamu." Sambil menyodorkan daftar menu.
"Makasih, wajah Airi memancarkan senyum. Ia tak tahu cara menolak kebaikan, sekalipun itu dari siapa.
Sinar matahari pagi mulai menembus dari daun yang menghalang, membuat Airi nampak cantik, dengan ikatan rambut sambil mengenakan kacamatanya. Wajah si penjual selalu senyum tiap kali meliriknya.
"Ini tikar buat pengunjung, sambil menunjuk tikar yang ukurannya pas untuk dua orang," Ia langsung beralih dari kursi yang sedang didudukinya untuk pindah ke trotoar yang beralas tikar.
"Suasananya cukup baru. "Penjual kopi langsung tersenyum sekaligus bingung melihat Airi yang bicara sambil melirik sinis handphone miliknya.
"Mikirin apa?" Airi sedikit kaget, namun senyumnya langsung tebit seperti atahari pagi ini.
"Perasaanku suka aneh saja belakangan ini." Sebenarnya aku berniat untuk puasa sama Handphone. Kecuali ada hal yang begitu penting, baru bisa.
"Sorot mata si penjual tiba-tiba mengalihkan pandangan darinya." ia lama tak berbicara sebelum akhirnya menjawab.
"Iya, bagus!"
Bermain dijalanan adalah hal yang membangun pemikiran secara subjektif, saat ini hidupnya tidak berbeda jauh dengan mereka yang selalu merasakan penderitaan oleh ketimpangan sosial. Masih terlalu banyak golongan orang-orang yang ingin memperkaya diri, karena kebutuhan fisik sangat berlebihan, atau karena butuh pengakuan. Yang hitam sama gelap saja sudah tidak bisa dibedakan. Bagaimana mau membawah diri.
Jari-jarinya seperti mau rontok hanya untuk sebuah keresahan yang ingin ia tuangkan dalam sebuah akun media sosialnya. Diam-diam Airi megambil gambar si penjual kopi.
"Besok-besok kalau datang kemari handphonenya tak perlu dikantongi saja."
Wajah Airi langsung berbinar, karena ia mengetahui bahwa si penujal juga merasakan hal yang sama.
Beberapa orang hanya berlalu lalang dengan kesibukan mereka, ada yang pergi ke pasar, ada yang mengantar istrinya pergi ke kantor, sebagian dari mereka nampak bingung melihat suasana yang sedang ku tempati.
Tadi ada seseorang yang lewat, aku tak mengerti maksudnya, ia hanya menggeleng-geleng kepalanya. Si penujal kopi lama berbincang denganku, sebelum akhirnya ia mengatakan.
"Bermimpilah yang indah sebelum kau bercerita seberapa dalam kesedihanmu, seberapa jauh kau melihat dunia daripada melihat ragamu yang menua.
"Jangan keberatan, kamu cantik". Kata nya sambil menyodorkan gelas kopi di hadapan Airi.
"Terimaksih kata-katanya mas." Airi kemudian tersenyum. Bagaimna kalau pada dasarnya manusia tidak punya kebutuhan fisik, mungkin nganggur adalah pekerjaan yang menyenangkan. Tanya Airi pada penjual kopi tersebut.
Airi tidak menolehkan wajahnya sedikitpun. Khawatir kalau ia salah salah mengeluarkan kata-kata.
"Nganggur juga pekerjaan, pekerjaan meratapi nasib." Jawabnya untuk menarik perhatian. Airi kemudian tertawa lepas sambil menyapu jidat, tidak memperdulikan asap dan debu jalanan yang semakin memadat, ramainya kendaraan membuat Airi tak ragu-ragu menyeruput kopi.
Baru sekitar tiga puluh menit duduk disini, tiba-tiba ada seseorang yang mendekat, kupikir itu adalah pengungjung, ia berdiri tegak di hadapanku sambil mengatakan.
"Hampir tidak masuk akal, saya sudah memberi tahu kepada para petingi negeri ini, bahwa masih terlalu banyak kejahatan yang berkiliaran disetiap sudut-sudut kota", katanya, tapi mereka jawab.
"Ini bukan suatu kejahatan melainkan masih terlalu banyak kebutuhan lain-lain yang harus di penuhi oleh orang-orang yang ada di sudut kota tersebut".
"Apakah kakek tahu kalau aku merasakan hal yang sama, aku bahkan terhubung pebicaraan dengan orang asing ini."
"Benar tapi masalah lainnya begini. Apakah mereka menganggap ini sebagai suatu kejahatan atau kebutuhan?"
"Lantas kenapa harus memalsukan identitas bahkan mereka sambil memakai topeng ala Anonymuos. Jawab Airi.
"Kakek mau pesan kopi?" Jawab Airi sambil mengarahkan pandangannya pada si penjual kopi
"Nda usah nak, kakek itu kemudian berjalan pergi.
"Mungkin aku terlalu pagi untuk berkunjung kesini!" ujar Airi pada si penjual, kemudian mengangguk sambil melayangkan senyum padanya.
"Sudah lumayan lama aku duduk disini tapi masih sepi pengujungnya."
"Menurut pengamatanku beberapa hari terkahir ini, kalau penikmat kopi senang meminum kopi kisaran jam sembilan atau jam sepuluh.
"Oh punya punya jam khusus juga. Kalau begitu besok-besok aku akan datang pada jam segitu, biar asik menikmati kopi sambil tidak kebagian tempat duduk, lagipula trotoar ini sangat panjang, bisa menampung puluhan orang." Airi kemudian tertawa.
" Airi merogoh kantong jaketnya untuk mengambil kembali handphonenya. Lalu diam-diam nge-endorse tempat jualan kopi, dibeberapa aku media sosialnya, biar besok-besok akan ramai dikunjungi oleh para pecinta kegelisahan, paling tidak ada satu dua orang yang berminat datang ketempat ini."
Dengan senyum-senyum penuh harap. Ia berpikir untuk publikasikannya, dan sebenarnya aku begitu berguna untuk orang lain, tanpa mengaharapkan sesuatu, sekecil apapun itu. Tidak ada yang bisa merampas kebahagiannya hari ini.
Yang aku suka dari penjual ini adalah semangatnya, dan Aura senyumnya yang memancarkan energi positif, Ia seperti berjualan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik semata. Karena tampang-tampangnya yang sedikit sopan. Melainkan ada beberapa semangat yang ingin ia katakan melalui bahasa tubuhnya.
Salut dengan penjual ini, aku baru sejam sudah bisa menilai tujuannya untuk berjualan. Sangat kreatif mungkin ia adalah pekerja seni yang membuat setiap pengunjungnya bertanya-tanya.
Si penjual mempunyai kedamain batin yang sangat luar biasa, dengan cara pandangnya melihat hidup, bukan sebagai ajang untuk saling singkir-menyingkirkan. Tapi ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan melalui pikiran, itu adalah kebahagian yang tidak ada satu katapun mampu mewakili.
Ia sepenuhnya paham karena ketidaktakutannya akan hidup, dan apalagi menyerah terhadap kesederhanaan.
"Oh iya, Itu adalah masalah yang kita miliki hari ini." Ujar si penjual kopi padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
THEOPHILIA
RomanceApakah waktu membiarkannya harus berpikir lebih dari dua kali, hatiku tak ingin lagi berkelana, aku telah dipasak oleh beberapa rindu. Dari sekian banyak waktu untuk memikirkannya. Ia seperti resolusi segala hal akan cinta. Membentuk sel-sel rindu d...