Memutar Waktu

20 0 0
                                    


Jauh sebelum itu aku tak ke pikiran hal ini, setelah tiga tahun lamanya. Menyesali kejadian itu. sungguh ia merasakan kembali dititik terendah, jidatnya berkerut, ia belum juga menemukannya. Apa yang ia cari, pikir Devi dengan melihat wajah sang kakak dari balik pintu kamar yang hampir tertutup.

Di umur yang 18 tahun sedang Jenna mengalami masa-masa kritis dalam satu hubungan, satu tahun lamanya ia terperangkap dengan situasi rumit dalam hidup. Jenna memutus untuk melanjutkan studi di luar negeri karena lebih melihat kualitas pendidikan ternama, bukan sebaliknya. Aku tak bisa katakan. Dulu aku bertanya padanya, kenapa kau buang waktumu untuk jauh dari keluarga.

Waktu aku sama sekali tak merelakan ia pergi, karena hak kepemilikanku terhadapnya hanya tertumpu pada pandangan fisik semata, lagi-lagi aku menyesalkan kenapa ini bisa aku lakukan. Sebelumnya waktu kami masih duduk di bangku SMA, ia pernah mengancamku dengan mengakhiri hubungan jika keberadaan fisik tak bisa lagi saling menyapa, inilah salah satu harapan kenapa Jenna menyesali kejadian itu, bukan malah membiarkan ia pergi dengan keinginan sendiri.

Hampir setahun menjalaninya, pengumuman akan kelulusan menjadi momok yang menakutkan, ketakutan akan masa depan yang tertunda, menurutnya itu tidaklah penting, karena ada yang lebih penting dari sebuah identitas. Beberapa kawan-kawan telah membuka amplop, wajah mereka sangat ceria karena melihat hasil pengumuman. 

Giliran namaku yang di panggil, aku tak merasakan ada getaran yang membuatku takut mencekam, ketakutanku hanya tertumpu pada ia yang ada disebelahku, setelah aku menerima amplop.

Aku bahkan tidak terpikir untuk merobek melihat hasil. Akhirnya Begie mengambil amplop dari sebuah genggamanku. Ia terlihat bahagia setelah merobek amplop, ia melihatku senyum. Kamu lulus, kata Begie lalu langsung memelukku. Setelah semuanya telah menerima amplop, aku melirik sana-sini melihat beberapa teman-teman yang muka nampak murung.

Muka merah berkerut, salah satu memecahkan jendela ruangan karena melampiaskan kecewanya. Wajah mereka terlihat putus asa, beberapa kawan bergembira seperti kehilangan kesadaran. Aku hanya merasakan kegelisahan. Apa yang Begie katakan benar-benar akan terjadi. Ia benar tak bisa meneruskannya. Pikir Jenna sambil memegang erat tangan Begie.

Aku tak mampu lagi membendung rindu ketika wajah tak pernah saling menyapa. 

"Baik kabarmu?"

"Iya baik." Tanya Jenna untuk mengalihkan kata-kata yang diucapkan Begie dari sebuah telepon. Sepertinya aku harus katakan sesuatu, dengan nada suara mengeluh. Tiba-tiba saja ia merasakan ketegangan, merasakan semua darahnya telah tertumpu di kepala, akhirnya akan tiba saatnya di mana semua yang aku pikirkan akan terjadi. Aku tak bisa melanjutkan hubungan ini, ujar Begie dengan rasa bersalah. Ia terdiam tanpa kata. Hanya sebuah ucapan terakhir dari. Terimaksih.

Penyesalan tidaklah dangkal dari yang aku perkirakan. Ia benar-benar membuatku kehilangan keseimbangan hidup. Akhirnya ia memutuskan untuk berekat kenegara tentangga dengan alasan di utus studi banding di negara tersebut. 

Mereka percaya begitu saja, aku pun sama sekali tak merasa bersalah, karena meninggalkan ujian akhir semester yang sedang berjalan, Begie benar-benar membuatku harus membenarkan semua. Ia telah mengetahui kedatanganku di negara tersebut, aku mencoba menghubunginya. 

Tadinya aku berpikir ia sama sekali tidak peduli dengan keadaanku. Ia menawarkan untuk menjemput. Satu jam lamanya aku menunggu kalau ia benar-benar menjemputku. Kali itu barang bawaannya hanya ransel yang maut du celana dan tiga lembar kaos, dengan jaket di pundak, langkah kaki kehilangan gairah untuk berjalan.

Beberapa jam kemudian, seorang dari arah barat melihatku dengan memakai pakan tebal, aku hampir tidak mengenalinya setelah jaraknya yang begitu jauh. Ia kemudian mendekat, menatapku dengan bimbang. Ia melihat keberadaanku yang merasakan turbulence. Aura itu benar-benar ia rasakan. Dengan hitungan menit tanpa kata, Begie langsung memeluk Jenna dengan tiba-tiba. Hanya berjalan sekitar 5 detik, lalu mereka pergi.

Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, katanya sambil melihat-lihat daftar menu yang ada dihadapannya. Bicara saja, aku perlu penyelesaian. Jawabku dengan tubuh yang tidak normal karena perubahan suhu yang amat dingin, membuat sebagian darahnya tidak mengalir dengan normal. Aku merasakan ketegangan antara kami tanpa mengeluarkan kata-kata. 

Aku tak berani melihat wajahnya, ia terlalu cantik untuk bertahan lama denganku. Pikir Jenna, tiba-tiba datang seorang pelayan.

"Mau minum apa mas?" Katanya menggunakan bahasa Inggris, aku hampir tak mengerti apa yang ia ucapkan bersama pelayan itu, karena ia tidak memiliki kemahiran dalam berbahasa asing. 

"Kata Begie, coffe yang sama." Ujarnya sambil melihat daftar menu yang ia tunjukan pada si pelayan.

Begie menatapku dengan tatap yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Ia terlihat ragu-ragu dalam menyampaikan sesuatu. 

"Apakah cinta itu adalah ibadah?" Katanya sambil memangku dagu, melihat orang-orang mengalihkan pandangannya untuk menatap Begie, mukanya beku, berkerut, matanya mulai merah. 

Jawabannya cukup sederhana!

"Kita mau mengarahkan ini ke mana?" Kalau dalam kondisi sekarang cinta hanya sekedar menyakitkan, bukankah sesuatu yang menyakitkan itu lebih diharamkan dalam agama. 

"Lalu di mana jawaban dari cinta sebagai ibadah." Jawab Begie tanpa takut kehilangannya.

Jenna hampir mengira kalau ia menampakkan rasa sudah tidak lagi berada dalam tubuhnya. Ia benar-benar membuat kepalaku bekerja di atas rata-rata. 

"Maafkan aku, jawab Begie pada Jen dengan mata berkaca-kaca."

"Kamu tak perlu minta maaf, aku sudah yakin dari awal. Kondisinya tiba-tiba melemah, wajahnya memucat, didukung oleh perubahan suhu yang lumayan berbeda dari biasanya."

Hanya butuh waktu beberapa kali jalan denganmu, akhirnya aku jatuh cinta. Kamu benar-benar hebat, lalu apakah secepat itu nanti aku akan melupakanmu aku pikir tidak. 

"Aku benar-benar rugi waktu, sambil menatap Begie, namun aku sadar, dari jauh aku tidak terlihat istimewah bagimu, sambil memejamkan mata, wajahnya tidak sadarkan diri untuk beberapa menit.

Aku membawah kertas ini untukmu ini adalah hadiah terakhir, Cuma ini yang bisa aku berikan. Begie sangat kebingungan, Jenna merobek kertas itu dihadapan Begie lalu memutuskan untuk pergi. Begie melihat bahwa itu adalah sebuah tiket untuk kepulangannya, Ia berlari mengejar Jenna.

"apa yang kamu lakukan?" Suaranya sedikit egos-ngosan, tanya Begie sambil memperbaiki napas. 

"Kenapa kamu merobek tiket itu, kamu tak kenal siapa-siapa di sini." Suara Begie nampak lelah, karena tak ada jawaban apa-apa dari Jenna. Begie berjalan mengikutinya, karena khawatir.

"Aku tidak akan pergi, meninggalkanmu sebelum kamu balik ke Indonesia."

"Terlalu banyak yang harus ku tinggalkan di kota ini, aku tak tertarik untuk membawah kesedihanku."

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang