Berbincang dengan dengan semesta ini adalah kebiasaan barunya, sejak pertemuannya dengan perempuan sore, ialah yang mengajarinya agar tidak selalu meminta kepada pencipta.
Walau pun pada dasarnya semua bentuk materi yang ada di muka bumi dialah pemelik tunggal. Kini ia mulai merapikan kembali hati yang berhamburan karena tergerus angin sepi.
Sore itu rumah adalah tempatmu dalam sunyi
menidurkan dinding-dinding dari sepasang mata
Pernahkah kau mendengar kata-kata tanpa punya nyali untuk keluar
sebenarnya manakah dirimu yang sedang jatuh cinta
apakah kau ingin mendengar nyayian dariku, lalu pergi lagi?
Airi sudah beberapa hari belakangan belum menapakan wajahnya, begitu sulitnya menemukan bagaimana cara bertemu dengannya, tidak seperti awal pertama mengenalinya.
"Ada apa kamu Airi? Masihkah kau mengingatku saat jam sulit seperti ini. Aku rindu pada rambutmu yang sering kau biarkan berantakan."
Aku ingat kembali setelah beberapa hari lalu, dan sore ini aku memulai berdiskusi dengan semesta mengenaimu, dari ketinggian tidak kurang dari 2000 MDPL, dan semoga kau mengerti kenapa aku tak henti-henti mengirim hujan untukmu Airi. Tidak hanya sekedar rindu tapi memahamimu jauh lebih baik daripada memaksakan hal yang sama.
Angin langsung berhembus kencang, ia tak lagi punya peluang untuk membuatnya bertahan, jika angin belum bisa merobohkan diamku yang berdiri. Maka lebih baik terus mengejar angin.
Jika tidak berdiskusi dengan semesta bagaimana kamu tahu kalau aku mencintaimu, maka perlulah berjalan lebih panjang lagi, masih harus berjuang, masih banyak pintu yang perlu ku buka dari hatimu, seperti imajinasiku sebelumnya yang membayangkan bahwa mendapatkan hatimu ada beberapa pintu yang harus ku ketuk, mungkin saja kamu tak tahu pase ini.
Kini ia mulai merapikan tas dan beberapa buku yang ada dihadapannya bersiap turun dari bukit karena hari sudah mau gelap. Hanya butuh waktu setengah jam untuk turun jalan kaki mendapat sebuah perkampungan.
Jenna menyimpan sepeda motor miliknya dirumah kerabat Ayahnya. Setelah ia sampai dirumah itu, segera hendak pamit, tiba-tiba mengajakku menikmati sebuah Teh panas, katanya baru dibuatkan untuk aku.
Teman ayah itu cukup ramah, aku pernah keseni sebelumnya, bersama Ayah. Waktunya sekitar dua tahun yang lalu. Ia bahkan mengingat namaku walaupun kami baru dua kali ini bertatapan. Kamu naik ke bukit bersama siapa, kamu pernah dengar cerita dulu tentang bukit gundul itu.
Kamu harus tahu bahwa bukit yang barusan kamu daki adalah tempat orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya, depresi dengan keadaan hidupnya, dan ada juga yang mengakhiri hidupnya karena putus cinta, itu adalah fakta dari kepolisian yang menyelidiki setiap peristiwa yang merenggut banyak korban.
Itu sebabnya aku mengetahui dan hafal wajahmu, sebenarnya Ayahmu sudah berpesan padaku kalau satu saat anak suatu saat akan berkunjung ke bukit gundul itu. Ayahmu menyuruhku melarang kamu pergi ke bukit itu.
Sekitar dua tahun lalu kami membahas tentang itu. Bahkan tidak tau kalau kamu naik ke bukit. Tadi ibu yang memberi tahu bahwa ada anaknya Pak Tomi menitip sepeda motornya. Karena satu-satunya jalan untuk naik ke bukit gundul hanya ada disamping rumah bapak.
Jenna langsung menggaruk kepala dengan wajah yang sedikit cemas. Kedatanganku ke bukit itu hanya sekedar melihat perempuan yang sangat ku kagumi.
"Astaga tidak, jangan sampai kamu menyusul seseorang yang kamu kagumi yang sekitar setahun lalu mengakhiri hidupnya."
"Maksudnya pak?"
"Teman kamu itu yang bunuh diri 9 bulan lalu. Mayatnya hancur berhamburan, bagian tubuhnya terpisah-pisah."
Ia langsung menghilangkan nyaliku dengan kedatanganku ke bukit itu, aku membayangkan sebagian tubuhku masih tertinggal di bukit itu. Padahal yang ku maksud bukan itu. Aku hanya mengangguk pasrah dengan semua yang diucapnya. Kakiku tiba-tiba mulai bergetar. Beberapa menit aku segera pamit. Salam sama bapak katanya, sambil menyalakan motorku aku hanya mengangguk senyum.
Di tengah tengah perjalanan, melihat jalan sudah mulai sepi, kira-kira butuh waktu satu jam mengendarai motorku untuk sampai dirumah. Di tengah perjalanan tiba-tiba bergetar dari kantong celana depanku, ia sontak kaget dengan getaran, jantungnya berdetak tak beraturan.
:Halo ada apa Airi?
"Kamu lagi apa Jenna?
"Lagi di jalan. Ada apa?" Kataku dengan bahasa sedikit geram.
"Temani aku pergi ke tokoh buku dong, boleh ya." Nada suara Airi seperti memohon, mungkin ia rindu. Kepercayaan dirinya memuncak.
"Iya boleh. Kamu ke mana saja, pesanku tidak pernah di balas?
"Aku banyak kesibukan, jadi jarang-jarang membalas pesan dari siapa saja, Airi kemudian tertawa.
Tak sampai sejam aku telah sampai dirumah Airi, mungkin karena energi yang ia berikan hingga akhirnya kecepatan motor mencapai di atas rata-rata dari biasanya.
Setelah kedatangannya, rumah Airi tampak begitu sepi, nampak seperti tak ada sama sekali penghuni rumah. Aku langsung mengetuk pintu rumah. Satu kali, dua kali, tiga kali ketukan pintu belum terbuka. Aku coba menghubunginya tapi tiba-tiba nomor teleponnya tidak aktif.
Aku segera membuka pintu rumahnya, kini aku melihat perempuan yang sedang mengenakan baju tidur, sambil memakai headset sambil mengetik kemudian aku mencoba mendekat dengan sedikit ragu-ragu, berharap kalau yang aku lihat adalah Airi, ia terlihat serius, tanpa menengok sedikit pun.
Kalau di pikir-pikir jarak bersama sudah begitu dekat. Keraguanku untuk memegang pundaknya tiba-tiba hilang, aku langsung mencabut headset yang ia gunakan. Ia kaget, ini sebabnya kenapa tidak sampai kedengaran. Jenna mengarahkan pandangannya pada headset yang sebelahnya masih Airi gunakan.
Maaf aku sudah masuk tanpa harus ada orang yang membukakan pintunya, aku cuma tidak ingin mengecewakanmu, kalau kedatanganku janji benar-benar aku tepati.
"Kamu lagi nulis apa? Jangan katakana bahwa kamu sedang gelisah. Airi kemudian berhenti menulis tanpa menjawab pertanyaan darinya."
"Tapi, ada yang lebih penting daripada kata-kata yang sedang ku ketik. Jenna sedikit heran"
"Maksud kamu?" Airi kemudian diam, tunggu sebentar.
"Aku ganti baju dulu."
"Airi menghindar dari kejelasan yang ingin ku tanyakan. Aku berharap kalau Airi tidak membingungkan dari apa yang telah aku tangkap atas pernyataan itu. Sosok yang aku yakini sebagai objek dari sebuah cinta mulai muncul kejelasannya, semoga saja aku tidak gagal paham setelah mendengar apa yang Airi ucapkan.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba Ibu Airi datang menghampiri kemudian duduk disebelah kursi yang sedang ku duduki, jaraknya cukup berdekatan. Jenna kemudian melemparkan senyum kaku pada Ibunya.
"Kamu yang namanya Jenna?" Sambil merapikan rambut, ia menatapku dengan tatapan lembut.
"Aku yang kemarin ketemu dipasar sama."
"Ibu lupa, kamu sekelas sama Airi."
"Aku senior Airi dikampus karena kuliahku berantakan." Ada beberapa mata kuliah aku sekelas sama Airi. Barangkali ada sesuatu yang membentur isi kepalaku sehingga niatku untuk lulus tepat waktu sama sekali tidak kepikiran. Tidak kepikiran untuk memberikan alasan lain.
Airi sudah cerita banyak tentang kamu, akhir-akhir ini ia kelihatan aneh, pernah Ibu melihatnya beberapa hari lalu sedang bermain perahu kertas digenangan air hujan di depan rumah.
Katanya rindu sama masa kecil. Ibu juga malah bingung. Kata-kata itu membuat Jenna flashback ke sebuah caffe milik teman ibunya.
"Waktu itu Airi pernah menawarkan hal yang sama, lalu?" Tegas ibu mengundangnya berpikir dua kali untuk tidak menceritakannya.
"Maksud aku sering melihat wajah Airi yang tiap hari diselimuti oleh kebingungan, tegas Jenna kemudian menggaruk kepala."
KAMU SEDANG MEMBACA
THEOPHILIA
RomanceApakah waktu membiarkannya harus berpikir lebih dari dua kali, hatiku tak ingin lagi berkelana, aku telah dipasak oleh beberapa rindu. Dari sekian banyak waktu untuk memikirkannya. Ia seperti resolusi segala hal akan cinta. Membentuk sel-sel rindu d...