Dalam Haru

21 2 0
                                    


Keberangkatanku, membuat Airi tidak sanggup menahan sedih, ia masih sempat mengantarkanku sampai di pelebuhan, bahkan sampai kapal berjalan. Terlihat wajahnya yang berkaca-kaca. Sambil melambaikan tangan, rambutnya yang terurai karena tiupan angin. Keningnya berkerut, membuat bola matanya tak terlihat.

Aku berdiri sambil mengenakan tas milikku, aku tak meliriknya lagi. Orang-orang nampak sibuk dengan berbagai aktivitas, si penujal minuman mulai mengeluarkan barang dagangan dari dalam tas. 

Ada yang menggendong anaknya sambil makan keripik, kakek berjalan ke pojok ruangan ia duduk meletakan tongkat miliknya, sambil melipat kaki, meraih cerutu di kantong depan kemeja.

Kini aku melepas rindu dengan sang ayah, ibu, kakak dan adiknya. Sekian tahun lamanya aku tak berjumpa dengan mereka, yang paling aku rindukan makan bersama keluarga, dengan berebut lauk dengan Ines, rindu pun mengizinkan aku untuk bertemu mereka.

Bahagia ini tak bisa terbayarkan oleh hal apapun, aku merasa bersalah dengan keluarga. Justru malah mereka yang bahagia melihatku seperti ini, ada yang salah dengan caraku melihat kebahagian?

Mereka sangat merindukanku. Barangkali rindu seperti bayang-bayang keji yang menikam punggungku, sampai waktu yang menghakimi sebuah pertemuan. Aku kemudian berlari pelan lebih dulu untuk memeluk Ibu, ia langsung mendekap lalu menyapu jidatku. 

Pelukan seorang Ibu menghilangkan semua kegelisahan yang di dalam kepalaku. Aku merasa kembali seperti di usia sepuluh tahun, di umur yang masih belum mengenal apa-apa, penuh dengan kasih sayang.

Aku mengambil tangan ayah kemudian mencium, ia terlihat gagah seperti pahlawan yang baru saja menyelamatkan hidupku. Ia adalah orang yang hebat, mampu melepas rindu, mana mungkin aku bisa menghianati, lagi pula kini kakak yang menjadi ukuran dari jerih payahnya sebelum aku masuk ke perguruan tinggi. 

Aku merasa bahagia sangat berarti jika aku mampu memikirkan perjuangan mereka terhadap diriku. Sangat tidak sia-sia, setelah bersalaman dengan kakak dan adik-adik, aku melihat wajah hangat mereka yang memendam rindu padaku. Mereka terlihat sepeti tidak sadar, kalau aku ini adalah bagian dari keluarga mereka. Tidak begitu lucu tapi cukup membuat pikiranku terhanyut dalam haru.

Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari sebuah warung kecil. Aku lama meliriknya, ia mengira kalau ia tidak salah mengenaliku. Aku mencoba menghampirinya, ia kemudian tertawa, aku hampir tidak mengenali kamu dengan gaya rambut macam ini. 

"Sudah brewokan mirip pedagang kurma di pasar sentral. 

"Bagaimana kabar si dia."

"Si dia siapa?" Jawabku dengan pura-pura bingung, ia sudah mengetahui maksudnya dari pertanyaan itu.

"Sudah lumayan lama hampir tiga tahun yang lalu, setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi tentangnya. Ia menghilang tanpa alasan yang jelas." 

"Kamu sendiri bagaimana?" 

"Ia malah melihatku dengan cemas. Kamu tidak tidak keberatan aku bertanya seperti, wajah kamu sudah sampai lemas gitu."

"Aku tidak punya bahan pembicaraan. Ujar lelaki tersebut dengan wajah cengengesan.

"Lah aku ikut juga, Eh nda bisa gitu, perasaan pembicaraan kita saling tanya jawab."

"Malah cuma aku yang jadi sasaran, tidak adil." 

Setelah lelaki itu kemudia pergi, aku melirik Ibu. Ia berbicara dengan seseorang yang baru saja menuruni kapal. Mereka terlihat akrab. Aku menghampiri dengan langkah yang santai. Lalu Ibu mengarahkan pandangannya padaku. Ayah berserta saudara-saudaraku sudah hendak mengantar barangku ke mobil. 

"Ini anak kedua" Jawab Ibu pada peremuan tua, yang mengenakan jilbab besar. Aku senyum melihatnya sambil berjalan untuk salaman. Kemudian kami hendak pamit saat jemputan darinya mulai menghampiri.

"Sepertinya kamu terlihat kurusan." Kata ibu melirikku kasihan.

"Ibu akan masakan makanan pavoritmu."

"Ibu tahu apa tentang makanan pavoritku?" Wajah ibu tiba-tiba bungung, ia akan kaget dengan jawabanku.

"Aku telah mengganti jenis makanan yang aku sukai, selama keberadaanku disana Bu. Biar lebih irit.

"Kalau makanan yang Ibu maksud itu, aku tidak bisa lupa. Pastinya tidak akan bisa tergantikan." Aku kemudian senyum.

Ibu menyuruhku agar berjalan lebih cepat, hari telah sore. Karena jarak dari pelabuhan cukup jauh, butuh waktu dua jam untuk menikmati perjalanan. 

"Lihat Ibu, kata Ines sambil mengarahkan pandangannya pada Ibu, kau tidak pernah lupa kebiasaannya. Ia selalu membuka jendela mobilnya sambil mengarahkan padangan ke laut, ia terlihat begitu menikmati petang." Ayah tidak pernah mengizinkannya untuk berhenti menikmatinya. Kaca mobilnya akan naik ketika petang berganti gelap.

"Apakah kamu tahu apa yang dipikiran Ibu ketika melihat petang?"

"Aku tidak tahu persis, ia sangat menikmatinya."

Ayah kemudian memutar musik untuk mengantarkan Ibu pada imajinasinya, ayah melirik kami dengan wajah senyum.

"Anak Ayah sudah makan?" Sambil mengurangi kecepatan mobil. Ayah menawarkanku untuk singga di salah satu warung makan, aku menggeleng tidak tertarik. "Ibu akan masak makanan kesukaan Py setelah tiba dirumah, Ibu lalu menatapku dengan senyum."

Untuk pertemuan ini aku merasa seperti orang baru, saat memasuki rumah, sambil melihat situasi rumah yang banyak berubah. Situasinya membuatku nyaman, kata adikku kamarku telah dipindahkan. Ia mengangkat barangku sambil menuju kamar.

"Sejak kapan rumah berubah tampilan gini?" Tanyaku pada ibu sambil berjalan menuju dapur.

"Kata ayahmu bosan dengan suasan rumah yang lama, ia yang mempunyai ide." Ibu nurut-nurut saja, hanya untuk mengurangi rasa bosan. Sambil menunjukkan reaksi bingung Ibu kemudian menyuruhku untuk segera istrahat. Aku menolaknya karena kebahagian bersama keluarga jauh mengalahkan rasa capek.

Semilar angin mengembus dari jendela kamarku, suasan sangat baik. Sambil memasuki kamarku, kata ka Ines sambil menujuk lukisan yang berada dekat jendela kamar. Aku ingin memindahkan ke kamarku. Tapi ayah sama Ibu melarangku. Kata mereka ini adalah ulang tahunmu yang ke dua puluh kemarin.

Jauh di dalam hatiku, tergambar jelas kasih sayang mereka terhadapku. 

"Lukisan ini adalah hasil dari ekspektasi Ibu menggambarkan kerinduannya, sampai-sampai harus mencari pelukis yang paham gejolak batin." 

"Aku hanya hanya diam mendengarkan kata dari ka Ines, aku tak bisa berkata-kata. Pikiranku seperti dibatasi oleh kebahagian."

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang