Memikul Arah

50 1 0
                                    



Di sebuah taman kota, dilengkapi dengan bunga-bunga yang baru saja mekar, mereka duduk dibangku sedikit panjang. Airi bercerita tentang buku yang mengisahkan hidup seorang kakek tua, hidupnya tidak pernah dihargai sebagai pahlawan, kontribusinya untuk negara sangatlah berguna, matinya pun tidak sesejahtera apa yang aku bayangkan, bahkan untuk di lirik oleh orang-orang yang berkuasa pada saat itu, tidak pernah. 

Ia makin mendekat padaku, aku muak dengan negeri ini, miris sekali para pahlawan yang menderita hanya untuk memerdekakan negeri ini. Lantas keberpihakan negeri ini masih punya sekat yang kokoh.

Mungkin darah para pejuang negeri ini telah menyatu dengan tanah yang basa, dan menumbuhkan beberapa bunga yang indah. Sahut Airi dengan muka sedih langsung merapatkan kepalanya di pundak Jenna, menggoreskan kukuh lentiknya yang tak panjang pada telapak tangan. Aku tak mau melihat Airi, kali ini aku seperti tak mau di batasi oleh ruang dan waktu.

Airi kemudian berjalan kedepan, duduk sambil meraih bunga, gengamannya terasa sayup, hatinya ingin dimengerti oleh beberapa bunga, ia melihat wajah Jenna, barangkali ini adalah hasil dari perlawanan kakek tua itu, kata Airi. Jenna hanya mengagguk seolah menyamakan pikiranku dengannya. 

Aku berjalan pelan, kemudian duduk di samping Airi. Bayangan kami memanjang kearah bunga. Seperti menciptakan bunga-bunga yang baru mekar. Aku memetik bunga meloloskan tanganku untuk menjepitnya di telinga Airi. Ia langsung tersenyum. 

"Coba tanyakan pada bunga-bunga itu apa arti dari hidup?" Selama kau percaya padanya mungkin sebagian hidupmu tak lagi kau pertanyakan, karena pemilik hidup dan diriku adalah sang pencipta.

"Cemaskah kah kau Jenna ketika bunga ini lepas dari kupingku?" Tanya Airi. Bagaimana jika daun-daun ini tak lagi menghasilkan bunga yang indah, apakah kau masih punya cara lain untuk buatku tersenyum.

"Aku mengangguk penuh bahagia, tak habis pikir dengan perkataan Airi."

"Jangankan daun ini, bunga yang ada di langit pun tak segan-segan aku temui hanya memetiknya untukmu."

"Airi senyum, matanya memancarkan energi positif, jidatnya bekerut seperti baju yang tidak pernah di setrika." Aku membayangkan Airi seperti bunga yang enggan memperlihatkan keindahannya.

Langit tiba-tiba berubah mendung, Airi langsung mengajak untuk mencari tempat ngopi sambil menikmati hujan.

"Kita mau pergi ke mana? Pikirku, cari tempat ngopi sebelum hujannya turun.

"Lagi pula kita belum pernah duduk berdua ketika hujan turun, rasanya mungkin menyenangkan."

"Bagaimana? tanya Airi padaku.

"Sebenarnya telah lebih dulu aku berpikir tentang kedai kopi. Aku punya tempatnya, di jamin tidak mengecewakan.

Kedai kopi, aku menaiki tangga yang berputar memanjang ke atas, Airi menatapku, ia mungkin tahu kalau kedai ini terlalu absurd untukku, mataku melihat ada yang aneh setelah sampai di lantai dua. 

"Sepi sekali."

"Airi kemudian mengangguk. Yaa.. aku tidak pernah pergi ke kedai yang sering dikunjungi oleh sekolomok aliran hedon, keren, atau apalah sebutan yang pas." Aku lebih senang ke tempat ini, kebetulan pemiliknya berkawan baik dengan Ibuku.

Di lantai dua dari balik kaca hujan tiba-tiba berkejaran turun dari langit, tersentak Airi langung mengeluarkan tangannya dari balik jendela. Ingin merasakan hujan, ikut aku Jenna, sontak Airi seketika dengan teriakan kecilnya. Airi langung kembali duduk, bercanda tadi.

"Hujan itu apa Jenna?". Bahkan ia mampu turun ketika beberapa dari kita membencinya.

"Hujan itu semacam tetes rindu, benci, kasih, sayang dan semua kata sifat yang diakibatkan oleh efek cinta." Airi langsung senyum mengalihkan pandangan dari sorot mataku, ia sepertinya menerima sugesti apa yang barusan aku katakan. Pandangan Airi hening seperti disebuah telaga, tarian beberapa angsa. Dengan reruntuhan dedaunan, karena menanggung rindu pada tanah.

Kini aku berjalan pelan kedekat jendela,

melihat daun yang jatuh akibat tetes hujan,

kemudian berpikir, Aku tiba-tiba mengawang-ngawang,

apakah hati Airi sudah seperti air hujan?

Jatuh, karena kehangatan awan yang berlebih untuk menguapkan air,

kemudian terangkat dari permukaan tanah,

lalu menuju atmosfer langit jiwaku,

terjadi proses kondensasi yang dapat menyebabkan

hati mengalami proses evaporasi.

Airi sontak membuatku kaget, dengan memberiku kertas dan sebuah pulpen tinta cair, kata Airi, mari berjanji, pas sekali kita masih berada di moment ini, bersaksi atas turunnya butir-butir kasih, rindu, sayang, dan tidak pernah membenci sekalipun rasa itu sudah tidak pernah tiada. Kamu harus tanda tangan beserta nama kamu. Bicara Airi dengan suara tegas. Aku langsung kembali ketempat duduk, sambil membawa kertas selembar. Airi tiba-tiba menyerangku dengan pertanyaan.

"Jenna tolong buatkan aku perahu kertas." Matanya hening seperti yang ingin tenggelam tanpa ke khawatiran

"Untuk apa?" Jawabku sambil memperhatikan turunnya hujan yang makin cepat, karena melihat Airi seperti membayang masa-masa kecilnya.

"Rindu dengan permainan ini, perahu kertas adalah mainan favoritku saat turun hujan." Aku mau kau membuatkannya untukku, Pliss, dengan nada suara memohon-mohon. Airi langsung mengambil kertas yang kedua, ia merobek lembaran buku yang kosong, segera mengulurkan tangannya memberi selembar kertas.

"Kali ini kamu harus janji Jenna."

"Janji? Pikirku makin bingung dengan ulah Airi."

"Iya janji, pada saat hujan menggenangi halaman rumah, kamu harus turunkan perahu kertas yang kamu buat." Karena aku akan melakukan hal yang sama ketika hujan tak lagi meneteskan rindu, jawab Airi.

"Aku akan minta bukti nyatanya melalui foto jepretan kamu, dan harus kamu lakukan. Jika tidak terlaksana maka sia-sia hujan turun kali ini" Airi mengancamnya dengan gelas kopi hangat yang baru saja tiba.

"Silahkan minum dulu kopinya, kali ini aku yang traktir kamu." Jawab Airi. 

"Bagaimana kalau kemudian perahuku menuju lautan?" 

"Yaa, kamu jangan pernah lepaskan dia dari perhatianmu." Suara Airi dengan sedikit malu. Kayaknya dia mengerti dengan apa yang aku maksud. Kalaupun perahunya benar-benar pergi kelaut, kamu harus beri alasan yang pasti, apa alasan perahu itu sampai bisa kelaut. Agar punyaku tidak lari kedanau, danau bagiku terlalu sempit untuk kulayarkan perahu. 

Tapi, danau kan menampung segala keluh kesal, tidak kalah dengan luasnya laut yang menyimpan banyak misteri. 

"Kamu harus tahu, bahwa danau tidak pernah mengalami air pasang surut yang sangat berlebihan. Kalupun pasang, itu karena kerinduan hujan pada daun yang berdebu." Airi menatapnya dengan wajah tegang matanya yang berbinar seperti mau menerkam.

Ia segera melipat kertas, dengan gerakan lamban sambil meratapi tiap butir hujan yang jatuh dari balik jendela. 

"Kertas ini terlalu kecil untuk menampung segala keluh kesalmu, aku bercanda berharap ia akan tersenyum." Tapi, ia malah memberiku pernyataan penegasan. 

"Aku hanya mau layarkan perahuku pada danau, hingga akhirnya, perahuku kan tenggelam bersama tetes-tetes hujan. Karena laut sangat berbahaya untuk perahu mungilku yang belum tahu apa-apa." Sambil mengarahkan jari-jarinya pada lukisan perahu yang ada di belakangku.

Kini mulutku tak pernah mau jauh dari gelas, ia seperti mentapku tanpa lelah, aku dibuatnya masuk, hingga tak bisa kutolak aroma kopi. menarik napas panjang, hingga emosi kembali terjaga, dari sebuah rintik hujan yang menemani kami. Seperti ada sesuatu yang salah, kacau pikiran. Tak bisa kutolak aroma ini, ia terlukis dengan sempurna dalam pikiran. Ah, ia benar-benar memaksa untuk menyeruput kembali. 

"Hei, gelas! bolehkah aku bertanya. 

"Apakah kau juga jatuh cinta dengan perempuan dihadapanku?" Pikirnya tanpa mengeluarkan kata, Jenna seperti ke kurang obat penenang. Ia sadar kalau ia sedang bicara dengan gelas kopi. Airi nampak senyum melihat kebingungannya. Ia melambaikan tangannya dihadapan wajah Jenna. Wajahmu tampak ngeri ketika berdiam diri di balik keresahanmu. 

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Aku yakin bahwa kejadian ini akan melekat di memori kita."

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang