Mawas Diri

24 1 0
                                    


Barangkali waktu seperti perantara mengenal kebaikan atau sebaliknya. Dari mana kamu mengenal hidup, kalau bukan melihat tubuhmu yang kini mulai rapuh. Ibarat pohon kamu sama sekali tak dialiri air, itu sebabnya daun-daun berjatuhan tak tahu diri, dari ranting yang digerogoti kekeringan. Padahal tubuhmu membutuhkannya.

Kalau pun air bisa bicara, mungkin air-air itu akan bicara dengan bahasanya sendiri. Ia tak segan-segan menghindar. Luka itu abadi, dari setiap punggung lelaki yang menghirup udara sore. Namun luka itu kadang beku, atau mencair sekejap memorinya melihat hal yang sama.

Ia menceramai seorang perempuan yang berwajah merah merona, asalnya tak diketahui, dan tak perlu aku sampaikan padamu, ia menyatakan keherananya. Bagaimana bisa pohon yang tua akan di aliri air, sama seperti pohon yang mulai belajar menggugurkan daun. 

Pejalan itu lurus menuju ke barat, sekitar setahun yang lalu ia tak melihat mereka, yang rentan haus akan pengakuan, sangat terpancar dari raut wajah mereka yang menaifkan sepi.

Beberapa waktu lalu ini yang aku takutkan, ada seseorang yang memanggil namaku dari balik pohon rimbun sangat besar. Perempuan sore berbalik arah ke timur mereka sama sekali tak melihat dirimu dari arah terang. 

Mereka melirikmu dengan sangat kejam, kamu bahkan tak sadar bahwa ada seseorang merobek bajumu menggunakan pisau karat. Ia berkulit hitam, mulutnya yang tajam sama seperti pisau yang ia genggam.

Ceritanya selalu menjadi hadiah buruk untuk teman-temannya. Boleh jadi ia akan menyulitkanmu, mengatasnamakan golongan yang sama sekali tak tahu tentang wajah lukamu. 

Betapa lambatnya mereka memberi makan peliharaan mereka agar tidak menggonggong sana-sini. Ia jeli melihat keburukan orang. Tapi tidak jeli dalam melihat keburukannya sendiri. Ia kelebihan protein hewani yang berdampak pada gerak-gerik yang ia tampakan. Waspada! Kata perempuan sore di balik jendela kamarnya.

Ia memungut kertas, lalu menuliskan perjalanan dalam sebuah kertas miliknya, berharap kalau keteraturan membawanya melihat dunia. Dulu tidak diajarkan kalau membaca buku harus mengingat nama pengarangnya, atau ia yang salah berguru pada kakek tua di pojok rumah tua itu. Kenapa memilih guru tua itu, ia suka pamer kehebatan apalagi dalam menyombongkan kelebihan. 

Kamu benar-benar salah dalam memilih guru, kata perempuan sore dalam hati, siapa yang tak kenal ia dalam cerita melawan dirinya sendiri. Ia tak segan-segan menancapkan pisau di tubuhnya. Herannya tak ada setetes darah yang keluar.

Waktu itu aku sendiri pernah membuktikannya. Ia memegang keris kuno, pikirku ia sedang membersihkan keris itu dari debu. Aku terkejut seketika melihat keris itu ditusukan ke dalam tubuhnya, ia sama sekali tak menjerit.

Ia terlihat meninggikan hati karena berhasil membuat dirinya luka tanpa mengeluarkan darah sedikit pun, perutnya tampak robek. Tabiat ini menuntut manusia tidak ada rasa takut terhadap perbuatan yang ia lakukan.

Sekejap matanya memalingkan wajah, berharap kalau ia sedang ditonton oleh orang banyak, namun perempuan sore menutup rapat pintu jendela, ia malah bingung dengan ulah kakek tua apalagi yang hendak diperbuat. 

Perempuan sore itu bergegas pergi. Ia menutup rapat jendela kamarnya, cahaya pun tak lagi menembus ruangan kamar. Dari arah mana ia akan menyalahkan orang-orang, sambil melihat wajahnya yang begitu terburu-buru tertinggal kereta. 

Semesta menanti kedatangan perempuan sore itu sebelum senja, itu sebabnya ia menutup rapat semua pintu-pintu yang ada di kamar, bersiap pergi lalu pulang setelah gelap. Ia melihat orang tampak membungkuk memberi hormat pada kakek tua itu, perempuan sore itu berpikiran kalau mereka adalah muridnya.

Kini orang-orang hanya menemukan isyarat bahwa sesuatu yang pada hakikatnya salah bisa jadi benar, begitu juga sebaliknya. Perempuan sore itu lalu mengambil tas, berharap kalau kamera kesayangannya itu tidak ketinggalan, kini ia bersiap dengan rutinitas sebagaimana biasanya, sampai-sampai ia dijuluki sebagai perempuan sore karena kebiasaannya. 

Namun ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya. Ia sama sekali tak mengenalinya saat ia hendak menutup rapat pintu rumahnya, orang itu malah menyuruhnya untuk pergi. Aneh pikir perempuan sore itu. 

"Siapa dia?" Sambil berjalan merunduk melewatinya.

Jangan-jangan ia adalah murid kakek tua itu. Mungkin kakek tua itu menyuruhnya untuk memanggilku. Tapi kenapa bisa ia malah menyuruhku pergi, kalau ia benar-benar memanggilku. 

Aku tak segan-segan untuk memarahi kakek tua itu di depan murid-muridnya. Tapi aku punya alasan apa untuk memarahinya. Mungkin aku dianggap sampah oleh kakek tua itu, ia mungkin merasakan sesuatu yang aku bayangkan tentang dirinya. 

Tapi, tidak mungkin ia sehebat itu, aku mungkin lebih hebat darinya mengenai perihal semesta. Kalau pun senja itu membekas sebelum gelap, lalu kau melukai bagian tubuhnya yang mana.

Kini senja mulai berdatangan, membuat gairah hidup sedang di ambang batas normal dari manusia sewajarnya, kadang ia berpikir bahwa sesuatu yang dilakukan bisa jadi salah di mata orang-orang yang lebih paham nilai religius. 

Ini mungkin semacam estetika hidupnya, setelah orang-orang punya kebiasaan menikmati harta, tahta, atau bahkan wanita. Karena menggemari potret senja, ia benar-benar paham kapan waktunya bahwa dalam keadaan itu ia harus mengurung diri.

Itu seakan tak dapat merubah sebuah pemahamannya, bahwa potret tentang senja adalah sebanding dengan perjalan pulang dengan kesadaran titik nol,  makna hidup, dan pertanyaan mengenai hakikat hidup. Bukankah perjalan menuju tuhan sangat banyak, tapi kendaraanya hanya ada satu. Jiwa yang pasrah!

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang