Perempuan Sore

31 0 0
                                    


Aku sangat suka berdiskusi dengan hal-hal yang berbau semesta, karena itu dapat memberi pemahaman tersendiri, dan pembaruan tersendiri, tidak membosankan tapi benar-benar melelahkan, karena ada yang tidak mampu dijangkau oleh akal sehat. 

Jadi salah satu kawan meminta bertemu, karena ada perlu. Ia adalah teman kelasku, Kami sempat membahas salah satu judul skripsi yang akan di telitinya,ia kekurangan literatur.

Kebetulan aku punya buku yang pas untuk menjadi salah satu sumber penelitiannya. Setelah perbincangan kami beberapa hari yang lalu, ia sangat terkejut dengan judul buku yang aku katakan. Itu tawaran menarik, jawabnya padaku dengan muka berbinar memancarkan kegembiraan yang tak pernah kuduga.

Aku memanggilnya perempuan sore. Karena ia adalah salah satu pengagum senja. Yang aku lihat postingan di akun media sosial miliknya, hampir semua potret tentang senja. Lumayan menarik dengan latar background yang berbeda-beda. Itu sebabnya aku memanggilnya dengan sebutan perempuan sore.

Sekitar satu jam yang lalu ia menghubungiku, kemudian ia tiba di tempatku.

"Halo Jenna. Seraya turun dari motor, sambil melepaskan jaket ia memainkan matanya padaku.

"Yuk masuk," dengan muka hangat."

"Duduk dulu sebentar, akan ku ambilkan bukunya."

"Mau minum apa?"

"Minum teh dingin saja.

"Sudah sampai bab berapa?" Aku kekurangan sumber. Katanya sambil menunjuk buku yang akan kusodorkan padanya.

"Lagi pula sudah beberapa hari ini aku menunggu kamu untuk mengambilnya.

"Eh kamu malah baru datang, kapan rencana ujian?"

"Seminggu lagi, untung ada kamu dan buku ini. Aku tidak tahu harus cari ke mana lagi, sudah habis tokoh buku ku datangi. Tapi tidak ketemu ketemu dengan bukunya." Aku suka dengan pekerjaan semesta ia mampu menerima apa yang aku pikirkan, hingga akhirnya kita dipertemukan dengan pembicaraan yang sama. Sampai pada apa yang aku inginkan, yaitu buku ini. Jawab si perempuan sore.

"Ini foto ibumu?" Sambil menunjuk ke arah dinding, mata si perempuan sore itu tiba-tiba melirik seperti membayangkan ada sesuatu yang tak satu kata pun mampu terjawab.

"Iya itu adalah ibuku. Mau aku panggil, atau?" Kebetulan ibu lagi asik memasak di dapur. Ikut aku, aku mau kenalkan kamu ke Ibu.

"Boleh. Tapi, tidak mengganggu ibu kan?" Pernyataan si perempuan sore, ia berharap kalau kedatangannya tidak ingin merubah suasana dalam rumah, menjadi asing atau mungkin saja jadi kaku.

Perempuan sore berjalan dengan langkah yang ragu, barangkali ia tidak ingin mengganggu. Sambil berjalan, ia terhenti di pintu menuju dapur. Jenna segera mengambil sendok masak yang digunakan Ibu.

"Kenalin Bu namanya perempuan sore, ia pengagum senja, hasil potret yang sangat menarik untuk di nikmati. Tapi, tidak kala hebat juga dengan hasil masakannya, ia sangat jago masak. Pengantar perkenalan pada Ibu dengan sedikit tendensi, kalau ia benar-benar hebat dalam memasak.

"Ibumu mah, gampang sekali percaya sama anaknya, bisiknya pada perempuan sore." 

Sini bantu Ibu, dengan menyodorkan sendoknya, tangan kanan mengaduk kaldu, ia menyuruh aku untuk mencicipinya. Kalau Ibu benar-benar ingin dapat pengakuan, tinggal aku bilang enak saja. Dari raut wajahnya ia bukanlah orang yang seperti itu. Tapi kali ini aku harus benar-benar objektif.

"Ada yang kurang Bu, jawabku dengan santai."

"Apanya nak? Jawab si Ibu."

"Sambil mengayun sendok kecil aku mencicipi kembali."

"Ibu malah penasaran dengan jawabanku."

"Ini mah kekurangan garam."

"Ibu kemudian tersnyum lepas."

"Kebiasaan Ibu kalau masak memang begitu. Ujar Jenna berdiri di pintu dengan tangan kanan menggaruk-garuk kepala. 

"Ibu kalau masak garamnya setelah air mendidih dan apinya sudah harus mati baru dituangkan. Takutnya garam yang dituangkan pada saat air mencapai 100derajat akan menjadi racun." Ujar si Ibu dengan penuh keyakinan.

"Siang ini aku lagi tidak punya kesibukkan, rencana aku akan mengambil gambar lagi. Namun harus aku urungkan niatku untuk sementara. Jenna menanyakan sesuatu. Kalau pembicaraan kami masih terhubung setelah pertemuan kami di kampus."

"Aku membayangkan, sempat lupa kapan. Yang jelasnya kamu akan bertemu dengan Ibu sudah dulu lebih ada dalam pikiranku, dengan suasana yang sama dan akhirnya pertemuanmu dengan Ibu benar-benar sama persis dengan yang terlintas di kepalaku."

"Menurutku itu sama sekali bukan kesalahan." 

"Yang pertama, kerja dari semesta keyakiananku tidak bisa ditawar lagi, memang begitu. Saling terikat antara satu dengan yang lain, mulai dari dalam pikiran sampai dalam perwujudan."

"Yang kedua bagiku tidak ada istilah kebetulan. Karena kamu memikirkan sesuatu di luar kemampuanmu, sadar tidak sadar otak saya mampu mengambil yang sedang kamu pikirkan dan pada akhirnya kejadian apa yang kamu pikirkan." 

"Sama persis dengan realita buku ini, sambil menunjuk buku, jika tidak terjadi mungkin saja tuhan punya cara lain untuk mengadilinya." Jawab si perempuan sore itu. Langsung menyeruput kopi yang ada dihadapannya.

Pikiran Jenna menurutku mengarah pada semesta ia sudah tidak fokus lagi dengan apa yang aku katakan. Percaya atau tidak terserah kamu ini hanya pikiran konyolku saja. Mungkin yang kamu butuhkan adalah bukti-bukti selanjutnya, sampai pada akhirnya kamu lebih percaya semesta daripada apa yang aku katakan. Pikirku sambil melirik mata Jenna dengan senyum.

Menurutku tidak ada kopi yang lebih nikmat ketika waktu senja datang. 

"Aku harus pergi, ia menjawab seperti kehilangan keseimbangan pada kosakata. Jenna kemudian mengangguk sambil berkata hati-hati."

"Terima kasih bukunya, kemungkinan bukumu akan beranak pinang dalam kamarku." Jenna kemudian tertawa. 

"Bagiku hidup itu jika kita tidak bisa membuat orang lain berpikir, maka paling tidak ada senyum yang ia berikan padaku setelah aku pergi."

Setelah kepergian perempuan sore itu, aku merasa bahwa ucapan tadi ibarat senjata yang menodong kepalaku, sampai peluru menembus susunan otak sarapku, aku hanya bisa terduduk setelah ia hendak pamit mengatakan harus pergi. 

Ia memberikan pengetahuan yang mungkin sangat langkah, dan bahkan orang lain tidak akan percaya, bagiku pemikiran perempuan sore itu adalah ke unikkan tersendiri dari sekian banyak teman-temanku. 

Mungkin caranya memandang hidup sesederhana itu. Tapi bagiku apa yang ia katakan cukup menguras tenaga habis-habisan, aku menghela napas panjang. Ibuku kemudian melirik dengan wajah aneh. Ia mengira bahwa aku habis putus cinta.

Ibu kemudian menghampiriku sambil menawarkan makan siang. "Sepertinya tiga hari yang lalu ibu melihat kamu dengan cara duduk yang sama, wajah yang bingung. Tapi ibu lupa mimpi atau sekedar khayalan Ibu saja." Ibu seperti menimpukku dengan suara santai. "Kamu baik-baik saja?" Ujar Ibu kemudian pergi.

THEOPHILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang