Setelah lumayan lama berbicara dengan Ibu Airi, lalu aku pamit untuk membawahnya. Ibu mengangguk, ketika aku hendak ijin membawa Airi, aku menemaninya pergi ke sebuah tokoh buku.
Aku berpikir kalau dunia ini lagi berpihak. "Sepertinya menghirup dua udara ke bahagian dalam waktu bersamaan." Kecantikan Airi bertambah ketika tiba di tokoh buku, kami mulai jalan ke lantai dua, di tangga yang kelima ia melihatku tanpa ragu.
"Jangan lambat menaiki tangga, nanti aku cepat capek." Jawab Airi sambil senyum. Aku paham dengan ucapannya, lagi-lagi aku tak ingin hilang dari sebuah makna, kata dan sebuah kalimat. Barangkali aku tak perlu penerjemah bahasa, karena ketidak pahamanku.
Aku perhatikan wajahnya murung, tangan kirinya memegang jidat, keningnya berkerut karena sebuah buku, warnanya mulai menguning, seakan melintasi waktu melewati batas, jaraknya wajahnya membaca buku sangat rapat.
Airi adalah seorang pemburu sejarah tanpa menduduki kedua telinganya, dan Jenna adalah seorang yang mendengar bahasa tubuh air yang meninggalkan gelegar tanya. Mereka saling bertanya, tanpa saling bicara rasa.
seperi senja
yang menidurkan perempuan
seperti pagi
yang menidurkan sang fajar
ia berkali-kali tergoda
melintasi waktu melewati batas
dan kisah yang terlintas tak lagi bermuara di sudut aksara
ia tak lagi beradu
bukan hanya kamu yang bertanya seberapa jauh jarak langit
saat kau penjarakan ucapanmu di balik gelegar tanya
aku hanya diam tak melewati batas.
Sungguh ia terlihat seperti bunga yang tumbuh dari air mata, karena mencari bagian tubuh yang terbongkar. Aku berharap kalau ia ada untukku tidak ingin meninggalkan bekas ingatan pahit, dan tidak ingin menidurkanku seperti pagi yang menidurkan fajar.
Malam ini setelah ke pulanganku dari rumah Airi. Jenna kemudian memarkir motornya disebuah jalan pas dihadapan rumahnya, Setelah ia melepaskan helm, kemudian tiba-tiba Jenna melemparkan helm melawati pagar rumah, mematahkan beberapa ranting, dan beberapa bunga rontok, ia nampak kaget, namun sesaat saja.
Mengangkat kedua tangannya sambil berkata, jalan ini terlalu lebar untuk menduduki hati Airi sebagai penguasa tertinggi di dalamnya, atau mungkin saja kita adalah sepasang anting yang jatuh, kemudian mencari pemiliknya masing-masing.
Tiba-tiba tetangga keluar melihat ulah si Jenna, mereka hanya geleng-geleng kepala melihat Jenna yang sedang asik membentangkan tangannya di tengah jalan.
"Weh anak mudah, kalau jatuh cinta tidak perlu segila itu." Aku sudah lebih dulu sekitar 20 tahun yang lalu, tapi tak bertingkah yang aneh.
"Aku tahu, mungkin karena dijodohkan, itu wajar-wajar saja, lagipula itu adalah jamannya Sitti Nurbaya, jawab Jenna kemudian senyum-senyum.
Lirikan tetangga membuat mereka memakluminya sebagai yang muda, dan mencinta tanpa perlu di tutup-tutupi. Sambil melepaskan jaket, tiba-tiba bibi keluar dari dalam rumah.
"Kamu lagi mabuk? Kata Bi Ati sambil menunjuk helm Jenna yang tergelak di halaman rumahnya.
"Iya nih Bi, lagi mabuk."
"Masyaallah."
"Jangan salah dulu Bi, aku lagi mabuk cinta." Kata Jenna lalu tertawa sambil mendorong motornya masuk ke dalam halaman.
"Ada seorang perempuan ia tidak hanya cantik, bahkan kalau Bibi melihatnya pasti bibi akan jatuh cinta juga."
"Masa Bibi jatuh cinta dengan sesama jenis, bibi mah masih waras." Jenna kemudian tertawa.
"Bibi akan jatuh cinta karena caranya memanfaatkan waktu, lagipula ia sangat baik." Jangan bilang pada Ibu kalau bunganya patah karena aku. Oke! Bibi hanya mengangguk pasrah dengan kelakuannya.
Saat tengah malam, suara pesan dari handphone Jenna terdengar keras, kedua tangannya yang sedang merapikan pakaian, matanya hanya tertuju pada layar mini yang berkedip-kedip, ia melihat pesan dari nomor baru. Fokusnya teralihkan dengan sesuatu dalam tas miliknya.
Ia lalu menyodorkan pakaian masuk ke dalam lemari, tangan kanannya mengambil sebuah buku, kaki kirinya merapatkan pintu lemari. Sambil mengeluarkan yang berjudul Aleph karya Paulo Quelo. Itu adalah hadiah yang di berikan Airi saat aku hendak mengantarkannya pulang. Nampaknya ia benar-benar tahu kalau aku suka dengan kisah dari penulis buku ini. Namun ada sesuatu yang koslet di kepala Jen, ia belum melihat jelas isi pesan itu dari siapa.
Mencoba mengambil kembali handphone di sebuah meja kecil, kamu cek halaman 27, by Airi. Ia segera membuka halaman demi halaman, ia menemukan tulisan dalam sebuah kertas kecil yang terlipat. Jen kemudian membenarkan tempat duduknya karena tidak ingin regesa-gesa membuka lipatan kertas kecil itu. Ada sebuah kalimat yang bertuliskan
"Jangan pernah rindu padaku ketika kau membuka lembar demi lembarnya"
Jen kemudian terkekeh-kekeh membuka bajunya dan memutar-mutar di atas kepala, dengan tulisan Airi, ia mengajak aku untuk gila lebih lama lagi, seolah-olah Airi mengonfirmasi perkataan tadi sore di bukit.
Aku ingin tidur berpaling dari pikiran kecil tentangmu
kau membuatku terseret di kehidupan nyata
terdengar jelas kamu memanggilku
seketika tidurku lelap
kau nampak hadir menjalar, aku benci
sekali lagi aku bukalah pengecut Airi
kau mulai menarik tangannku
bukan hanya di kehidupan nyata membuatku terseret
mimpi pun enggan membela aku dari keterpurukan
jika satu masa aku memberimu sebuah bunga
maka jangan salahkan aku.
Aku tidak tahu selama ini kau di mana, dan sekarang menemuiku dengan tingkah yang berbeda. Apakah benar ini adalah dirimu, apakah ini adalah kamu tanpa kepalsuan? Aku sering bertanya, setiap pagi. Sambil berharap kalau di setiap aku bangun dari pagi ada sebuah ucapan selamat pagi di pesan singkat, dari kamu Airi.
Tapi belum pernah aku mendapatkannya. Kemudian ia bangun dari tidurnya, karena sadar akan tingkahnya semalam, pertemuannya dengan Ibu Airi terbilang hanya sebentar, tapi ada yang aneh, dari kata-kata yang ia ucapkan. Pikir Jenna sambil meletakkan handphonenya.
Ia terlihat ragu kembali, mungkin pertanyaan ini adalah kesalahan, nampaknya itu sangat-sangat tidak mungkin. Lalu bukankah pembicaraan kita membahas rindu sudah terjawab?
Pagi ini aku bangun terlalu cepat, kemudian melanjutkan bacaan karena semalam baru menghabiskan beberapa lembar saja.
"Aku merindukanmu."
"Apakah kau mendengarnya?"
Imajinasinya tidak lagi berada dalam sebuah bacaan, fokusnya tiba-tiba berbalik arah pada sebuah kertas kecil yang masih ia letakkan di meja kecil. Ia mengambilnya untuk menyisipkan kembali di halaman buku tempat sebelumnya, karena ia ingin mengakhiri bacaan pagi di sebuah halaman yang terletak lembar kalimat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEOPHILIA
RomantiekApakah waktu membiarkannya harus berpikir lebih dari dua kali, hatiku tak ingin lagi berkelana, aku telah dipasak oleh beberapa rindu. Dari sekian banyak waktu untuk memikirkannya. Ia seperti resolusi segala hal akan cinta. Membentuk sel-sel rindu d...