6. Akankah yang Hilang Kembali?

4K 565 30
                                    

Singgasana Pradana adalah salah satu kompleks perumahan besar di wilayah Bandung Selatan. Tak ada angkutan umum yang menjurus ke dalam kompleks, karena itu aku turun di garda depan kompleks dan melanjutkan dengan berjalan kaki.

Kira-kira sudah setengah perjalanan ketika kulihat pangkalan ojek di bawah rimbun pohon kenari. Masih pagi. Harusnya aku kuat berjalan setidaknya setengah kompleks lagi. Tapi kan percuma berjalan tanpa tahu tempat yang kutuju. Maka kuputuskan bertanya pada tukang-tukang ojek di pangkalan itu.

"Punten, Pak," sapaku sesopan mungkin.

Tiga tukang ojek yang semula duduk-duduk santai di bale, seketika lagsung tersenyum ramah padaku. Ah, mungkin mereka kira aku mau naik ojek. Maka cepat kulanjutkan ucapanku, agar mereka tak salah paham. "Saya teh nyari rumah teman saya. Namanya Karen. Bapak-bapak tau rumahnya yang mana?"

Salah satu tukang ojek kembali menyandarkan tubuhnya ke batang pohon, dan menjawab, "Tinggalnya bener di kompleks ini, Neng?"

"Iya, Pak," sahutku mantap. "Kalo nggak salah teh di blok O."

Tukang ojek yang duduk paling dekat dariku mengerutkan alis. "Oh, Kang Karen yang adiknya belum lama hilang ya? Yang anaknya Pak Andrean?"

"Iya Pak. Bener dia. Bapak tahu rumahnya?" tanyaku sumringah.

"Bapak sih tahu rumahnya, Neng," balas bapak itu. "Belakangan ini rumahnya rame terus. Banyak sodaranya, sering juga polisi datang ke sana. Katanya sih adiknya belum ketemu-ketemu. Neng teh pacarnya ya?"

Aku tersenyum kikuk. Cepat-cepat menggeleng. "Saya teman sekolahnya, Pak. Bisa anter saya ke sana?"

"Kayaknya nggak perlu deh, Neng." Bapak itu menelengkan kepala ke jalan di belakangku. Aku mengikuti arah pandangnya dan tertegun melihat sosok yang sebulan terakhir kupertanyakan keberadaannya : Karen.

Sahabatku itu duduk di atas CBR merahnya, tersenyum ramah pada para tukang ojek. "Punten, Pak ngerepotin. Temen saya."

"Sok, mangga, Kang. Temennya geulis pisan." Entah tukang ojek mana yang bicara, aku tak lagi peduli.

Segera kuhampiri Karen. Namun, aku berhenti satu meter di sampingnya, mematung tak percaya akhirnya bisa melihat wajahnya lagi. Dia memandangku, tersenyum seperti Karen yang kukenal. Masih bisakah dia tersenyum di saat seperti ini? Dengan wajah pucat seperti itu?

Aku ingin memeluknya. Sungguh. Akan tetapi, sorot matanya yang teduh menyadarkanku bahwa tak mungkin melakukan keinginan bodohku di tempat ini.

"Ayo naik!" kata Karen pelan sambil menyodorkan helm padaku.

Tak kuhiraukan ajakannya dan justru bertanya, "Kamu kok tau aku di sini?"

Karen meraih tanganku, menaruh helm-nya di genggamanku. "Lo kan tadi sms."

"Aku kan nggak bilang kalo udah sampe."

"Kan gue nunggu lo dari tadi." Senyumnya terukir lagi. "Gue kan minta inzinin ke guru. Kok lo malah ikutan bolos?"

Kukenakan helm pemberiannya sambil menelan bongkahan pahit di tenggorokan. Aku bisa merasakan kesedihan yang bahkan tak Karen tampakkan. Embusan angin hampir saja membantu air mataku lolos. Oh, sial. Aku memalingkan wajah agar Karen tak melihatnya, lalu segera naik ke boncengan motornya tanpa berkata-kata lagi.

Aku juga tak bertanya macam-macam saat Karen bukannya membawaku ke rumahnya, tetapi justru mengemudikan motornya meninggalkan kompleks. Hanya desir angin yang mengisi seluruh indera pendengaran. Karen membisu. Tak seperti Karen yang banyak bicara seperti biasanya.

Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang