Visual : SMA 5 Bandung (Dalam cerita ini digunakan sebagai SMA Prisma Jaya).
Tanpa menyetel alarm pun, otomatis aku pasti akan bangun pukul empat tiap paginya. Biasanya, pada jam itu, ibuku dan kak Dena sudah bangun dan sibuk membuat kue-kue pesanan. Setelah itu, kak Dena pasti langsung mengejekku anak malas karena terlambat bangun. Tapi pagi ini berbeda. Sepi. Belum ada seorangpun yang bangun.
Sambil mengumpulkan kesadaran, aku duduk di ranjang, memandang sekeliling dengan mata setengah terpejam. Tak ada Luna—adikku yang biasanya berbagi kamar denganku. Ruangan ini sepenuhnya milikku.
Selama ini aku selalu menginginkan kamar sendiri tanpa harus berbagi dengan adikku. Kini aku memilikinya meski bukan sepenuhnya milikku. Bukankah seharusnya aku senang?
Nyatanya tidak. Aku justru merasa ada yang kurang.
Kupandangi ruangan yang kutempati, rapi, terurus dengan baik. Dindingnya pun kosong, bebas kutempeli apa pun yang kumau tanpa khawatir Luna melepasnya. Aku menggeleng, memijit pelipisku sebentar. Menertawai diri dalam hati. Baru seminggu pergi saja sudah rindu rumah.
Karena SMA tempatku mendapat beasiswa cukup jauh dari rumah, orangtuaku memutuskan menitipkanku pada Tante Risma—adik ibu.
Dan, di sinilah aku sekarang, di ruangan yang luasnya dua kali lebih besar dibanding kamarku di rumah. Ruangan yang Tante Risma bilang jadi milikku sepenuhnya hingga setidaknya tiga tahun ke depan.
Ini lembar baru. Awal kehidupan putih abu-abuku.
Kuhela napas sambil melangkah turun dari ranjang, duduk di hadapan cermin oval yang tergantung di hadapan meja rias. Di cermin, bayangan seorang gadis berkaus gombrong memandangku. Gadis itu mengerjapkan mata bulatnya, rambutnya yang lurus sebahu tampak berantakan. Wajahnya dihiasi poni depan yang dipotong sebatas alis.
Kutelusuri setiap jengkal bayangan di cermin itu.
Bayangan itu aku.
Aku tersenyum, dia pun tersenyum.
Tapi senyum itu segera lenyap begitu telingaku menangkap gelak tawa seseorang.
Kupejamkan mataku sesaat sambil mengatupkan rahang.
Konyol jika kupikir aku hanya sendirian di ruangan ini.
Aku hampir lupa bahwa aku tak pernah sepenuhnya sendiri.
Kuikat rambutku tinggi-tinggi, berusaha tak menoleh pada pemilik gelak tawa yang kutahu tengah berdiri di sudut kamar dekat lemari pakaian. Tanpa memandangnya, aku melangkah keluar kamar untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat.
Pemilik gelak tawa itu adalah anak dari keluarga lain yang tinggal di rumah Tante Risma. Ya, kalian tahu, jarang satu rumah hanya ditinggali satu keluarga. Setidaknya ada satu keluarga pendamping—yang tak kasat mata. Selama mereka tak mengganggu, aku hanya harus pura-pura tak melihat.
Mungkin mulai besok, aku harus mulai membiasakan diri bangun lebih lambat, setidaknya sampai Tante Risma atau Om Deni bangun.
===
Dari rumah Tante Risma ke sekolah hanya butuh sekitar 10 menit naik angkot. Kulirik jam tangan sesaat setelah turun dari angkot, pukul 05:40. Kurasa aku datang terlalu pagi. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1951 di depanku tampak lebih luas karena suasana masih sepi.
Kegiatan orientasi siswa telah dilaksanakan Minggu lalu dan hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Aku antusias sekali hari ini. Tapi aku tak ingin hal itu tergambar jelas di wajahku. Sambil menjaga senyumku agar tak terlihat terlalu lebar, aku melangkah masuk melintasi gerbang. Penjaga sekolah yang sedang menyapu halaman menyapaku, namanya Mang Ujang—aku tahu dari teman-temanku saat orientasi Minggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔
Mystery / Thriller(TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA) Serena Aldyathena tak pernah menyangka mimpi buruk yang kerap hadir dalam tidurnya merupakan pertanda bagi terbukanya gerbang kegelapan. Sebuah kecelakaan menghentikan mimpi-mimpinya lantas menukarnya dengan...