Sejak aku menginjakkan kaki di Prisma Jaya, setiap harinya, aku mulai mengenal satu persatu penghuni di sekolah ini. Sampai sekarang, mungkin hampir semua penghuni kukenal. Dari mulai yang jahil, menyeramkan, pendiam, sampai yang banyak bicara. Jangan salah, mereka-para hantu juga sama seperti manusia, ada yang begitu sensitif, ada pula yang seolah tak peduli.
Berhubung hari ini aku tiba terlalu pagi, akan kuajak kalian mengenal sekolahku lebih jauh. Kita punya waktu sedikitnya tiga puluh menit sebelum bel masuk memanggil.
Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, saat aku melintasi gerbang, Mang Ujang sedang menyapu halaman ditemani si bocah kepala botak.
"Wilujeng enjing, Mang," sapaku. Segera kulemparkan pandangan datar begitu si bocah ikut-ikutan menoleh.
Mang Ujang sesaat menghentikan gerakannya, menyeka keringat di dahi lalu membalas, "Enjing, Neng Seren. Duh, duh, rajin pisan Eneng teh. Datengnya selalu paling pagi. Di dalam teh belum ada siapa-siapa."
Bocah pucat yang sedang menendang-nendang dedaunan itu menjulurkan lidah kerahku. Dasar bocah iseng! Aku memilih tak menghiraukannya. Selama ini keisengannya hanya seputar remeh-temeh, jadi aku tak pernah ikut campur. Kulemparkan senyum sumringah pada Mang Ujang.
"Ah, nggak apa-apa, Mang," sahutku. "Seren teh sekalian mau mampir ke perpus, ambil buku. Mangga, Mang."
Basa-basi selesai. Setidaknya, setiap pagi, aku tak pernah kehabisan bahan alasan. Tujuanku datang sepagi ini tentunya bukan repot-repot nongkrong di perpustakaan. Jika hanya ingin ke perpustakaan, maka aku bisa melakukannya di jam istirahat, toh aku jarang pergi makan siang dan tongkronganku memang tak jauh dari perpustakaan atau ruang belajar.
Mari lanjutkan perjalanan! Oh ya, tentang bocah botak tadi, dia adalah salah satu penghuni halaman sekolah. Aku sering melihatnya berlari-lari di sekitar gerbang sampai batasan pohon mangga yang letaknya sekitar lima meter dari gerbang.
Di halaman sekolahku terdapat banyak pohon rindang yang masing-masing didiami penghuni berbeda. Tiga pohon kelapa depan dekat palang nama sekolah ditempati sosok-sosok hitam tinggi-sampai sekarang aku tak pernah berani menatap mereka. Biasanya mereka muncul mulai sore hingga malam hari.
Bergeser ke kiri, dekat lapangan basket outdoor, ada pohon-pohon cemara yang berjajar rapat dengan hiasan tanaman-tanaman hias setinggi lutut. Di sana adalah lahan bermain anak-anak Belanda. Mereka sering bersembunyi di rapatnya tanaman.
Sekolahku adalah bangunan yang telah berdiri lama. Wajar banyak makhluk gaib tinggal di sini. Aku bergerak menuju koridor utama-satu-satunya akses masuk menuju area sekolah-setidaknya satu-satunya menurut para guru, karena para siswa pastinya selalu punya jalan rahasia untuk kabur jika ingin bolos pelajaran.
Bangunan yang paling tua adalah gedung IPA. Letaknya sebelah kanan koridor utama. Aksesnya paling dekat dengan perpustakaan dan UKS. Laboratorium dan segala fasilitas ke-IPA-an berjajar di lantai dasar. Terdiri dari empat lantai, dan bukan main banyaknya penghuni di tiap lantainya.
Bergeser ke arah barat, terdapat bangunan mirip aula yang dahulu dipakai untuk menyimpan perkakas senjata pada zaman Belanda. Bangunan itu sekarang digunakan sebagai ruang guru, ruang Tata Usaha dan ruang rapat. Di sana, ada banyak penghuni, mulai dari warga pribumi, orang Belanda, Jepang, bahkan Cina. Satu lagi, di sana lebih banyak penghuni laki-laki, ya, mungkin karena tempat itu dulunya juga berfungsi sebagai camp militer.
Seorang prajurit berwajah pucat dengan topi koyak memandangku saat aku melintasi koridor depan ruang guru. Dia berdiri di samping tanaman hias gantung. Aku jeri memandangnya, tak kerasan melihat luka menganga yang tampil dari balik topi koyaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔
Mistero / Thriller(TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA) Serena Aldyathena tak pernah menyangka mimpi buruk yang kerap hadir dalam tidurnya merupakan pertanda bagi terbukanya gerbang kegelapan. Sebuah kecelakaan menghentikan mimpi-mimpinya lantas menukarnya dengan...