PROLOG

10.5K 743 187
                                    

Di dunia ini, ada dunia yang bukan milik kita.

Di dunia ini, kita tak memiliki dunia.

Dunia yang tak manusia kenali berjalan selaras layaknya arus matahari terbit dan terbenam. Ada mereka yang hidup layaknya manusia.

Nenek moyang manusia menganggap mereka pengganggu, menyeramkan, patut dijauhi. Karena aku adalah keturunan nenek moyangku, maka aku pun beranggapan demikian.

Ketakutan melahirkan keberanian. Jika aku tak pernah menjadi seorang penakut, maka selamanya aku tak akan pernah berani. Jika aku tak pernah berusaha melawan ketakutan itu, mungkin hari ini aku tak akan pernah berdiri setegak ini.

Dulu, aku gadis yang sangat penakut. Aku takut bicara banyak, takut menyakiti temanku, takut bepergian jauh seorang diri. Seolah ada jeruji tak kasat mata yang membatasi setiap tindakanku. Aku tak nakal seperti kebanyakan anak, lebih banyak menurut perintah ibu untuk membantunya memasak daripada memenuhi ajakan temanku bermain sepeda keliling bukit.

Hanya satu kali kenakalanku.

Dan kenakalan itu kusesali seumur hidup.

Itu terjadi ketika usiaku menginjak tiga belas tahun. Aku masih duduk di bangku kelas satu SMP. Sekolahku mengadakan kunjungan wisata ke Taman Hutan Raya Djuanda di Dago atas utara Bandung. Sepanjang acara kunjungan, banyak teman-teman berbisik mengatakan bahwa tempat itu angker.

Aku tak begitu memerhatikan cerita teman-temanku, memilih mendengarkan penjelasan guruku tentang sejarah tempat ini, melangkah hati-hati tiap melintasi jalan yang kala itu sedang becek karena beberapa hari terakhir hujan terus turun.

Menjelang sore, hujan deras kembali tumpah. Rombongan dari sekolahku terpaksa menunda kepulangan sampai hujan agak reda.

Ketika itu, sahabatku yang bernama Tesa tiba-tiba menarik tanganku, mengajak bergabung dengan beberapa anak lain yang tampak berkumpul di sudut tempat kami berteduh.

"Kalian teh tahu, di goa Belanda yang kita datangi tadi, aku denger suara-suara aneh," ucap seorang anak bertubuh tambun dengan wajah tegang. Aku masih ingat, namanya Wilda.

Anak lain di kerumunan itu menimpali, "Suara naon?"

Setiap mata memandang Wilda penasaran. Wilda makin memasang wajah menegangkan, kemudian berkata dengan suara berbisik, "Suara langkah kaki orang berbaris."

Beberapa anak mengerjap takut, beberapa tertawa tak percaya, sisanya terdiam bingung. Aku dan Tesa termasuk yang diam.

Merasa ceritanya tak dipercaya, Wilda menambahkan, "Kalian teh ngeyel! Goa Belanda tempat paling angker di sini. Kang Wawan bilang, kalau kita mau manggil penunggu di goa Belanda, kita tinggal bilang 'pedas' dalam bahasa Sunda. Mereka pasti langsung menampakkan diri."

Kang Wawan adalah kakak Wilda. Kini hampir semua anak di kerumunan mengedipkan mata pelan, ikut tegang seperti raut wajah Wilda.

Seorang anak menyahut, "Maksud kamu la--"

"Ssst!" Wilda segera memotong. "Jangan sebut kata itu di sini! Kamu bisa sial!"

Anak-anak makin ketakutan.

"Masa sih?" Seorang anak memainkan jari dengan gelisah. "Nggak mungkin atuh, masa cuma bilang kata itu mereka langsung datang."

Wilda tak hilang kata-kata. "Bisa atuh. Kita bilangnya teh kalau datang malam-malam ke goa itu."

"Mungkin penunggu di sana nggak suka makanan pedas. Mereka suka makanan yang manis-manis doang." Tesa menimpali sambil cekikikan--sama sekali tak tampak takut.

Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang