5. Lompatan Trampolin

4.4K 506 18
                                    

Di samping Prisma Jaya, hanya dibatasi oleh gang setapak, terdapat sebuah pabrik besar pengolahan daging. Akses pintu rahasia para siswa yang berniat bolos terdapat di belakang sekolah, bersisian dengan gang setapak yang kemudian mengarah ke pabrik tersebut. Karena di belakang sekolah tak banyak rumah warga dan lebih banyak ditumbuhi pohon-pohon, proses pelarian bukanlah hal sulit.

Aku hanya harus mengenakan jaket yang menutupi badge seragamku, menerobos keluar lewat celah dinding yang lebih mirip terowongan kecil di belakang sekolah-ah ya, terowongan ini ditutupi bak sampah besar sehingga tak terlihat jika memang tidak tahu, kemudian berlari secepat mungkin lewat bagian belakang pabrik daging.

Kalian salah jika berpikir aku sering melakukan hal semacam ini sehingga aku hapal jalan yang harus kulalui. Sejak dulu Karen memang sering mengajakku bolos tapi tak sekalipun kuturuti ajakannya. Aku ingat pernah sekali manut dengan ajakannya, itupun aku lebih dulu izin sakit ke guru piket.

Tapi kali ini berbeda. Mana bisa aku diam saja di kelas setelah tahu sahabatku sedang kesulitan?

Kuperlambat langkahku begitu sudah berada di balik dinding pabrik. Jika kalian heran mengapa kami bisa keluar-masuk pabrik sembarangan, alasannya adalah, karena tak ada yang tahu kalau kami lewat. Pabrik daging ini memiliki 2 dinding, di mana di dalam dinding pertama-yang kini kulewati, dipakai sebagai tempat parkir truk-truk. Sementara sekitar 200 meter jaraknya dari dinding pertama, berdiri kokoh sebuah dinding yang tingginya hampir enam meter, menjadikan aktivitas di dalam pabrik sama sekali tak tampak.

Meskipun begitu, bau anyir darah dan daging yang digiling tetap saja tak hilang dari udara. Sambil berusaha mengabaikan bau tak sedap itu, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon Karen, berharap kali ini teleponku diangkat.

Namun tak ada bedanya seperti kemarin-kemarin. Panggilanku diabaikan. Kuputuskan mengirim pesan singkat.

To : Karendra KETOS

Aku di jalan mau ke rumahmu.

Sent.

Setibanya di jalan ujung dinding pabrik, aku segera menyetop angkot dengan jurusan Singgasana Pradana dan segera naik. Hanya itu yang kutahu. Tentang mana rumah Karen, itu urusan belakangan, aku bisa mencari nanti.

Kuembuskan napas berkali-kali ketika rasa cemas mulai menggelayuti. Aku tak menyangka hal seperti ini menimpa Karen. Meski tak kenal siapa adiknya, aku yakin Karen pasti sangat sedih. Sama yakinnya bahwa dia pasti mampu mengendalikan perasaan dengan baik. Ya, aku mengenalnya sebagai sosok yang dewasa dan pengertian. Tapi entah mengapa meski mungkin dia tak membutuhkanku, aku merasa perlu ada di sisinya.

Entah untuk apa, aku hanya ingin ada di sisinya.

===

Aku dan Karen mulai berteman dekat pada semester dua kelas X. Sebenarnya sejak semester satu kami sekelas, dan aku cukup mengenalnya karena kebetulan dia termasuk siswa yang aktif dan dikenal banyak orang. Dia juga ketua kelas. Namun saat itu, interaksi kami hanya sebatas tegur-sapa teman sekelas, seputar PR atau tugas, tak lebih.

Kami mulai dekat ketika sama-sama mengikuti ekstrakulikuler Pers Prisma Jaya atau disingkat PPJ. Kami sering satu tim dalam meliput berita tertentu sehingga lambat-laun mulai dekat. Aku tak tahu apa yang membuat Karen tertarik berteman denganku. Aku sungguh berbeda darinya.

Di PPJ, Karen aktif mengisi rubik cerpen dan puisi. Sementara aku lebih tertarik pada artikel-artikel gosip dan horor. Dia bintang di lapangan basket. Meski Karen bukan kapten tim, tapi semua orang jelas tahu Karen lebih jago dibanding kapten timnya sendiri (baca : Ken). Sampai saat ini, aku juga masih tak mengerti mengapa bukan Karen yang ditempatkan jadi ketua basket.

Ingatanku melayang ke suatu sore di lapangan basket indoor sekolah. Saat itu, Karen sedang asyik men-dribble bola dan memasukkannya ke ring, berkali-kali. Aku duduk bersila di permukaan lapangan, menumpukan dagu, memandangnya malas. Kami masih kelas X dan hari itu adalah hari ketika Ken diumumkan sebagai ketua tim basket. Kutanya pada Karen apakah dia merasa kecewa karena kemampuannya tak diakui?

Sahabatku itu hanya tertawa dan menjawab, "Jangan lebay deh, Ser. Gue main basket itu cuma hobi. Bisa main aja udah seneng. Emangnya kalo nggak jadi ketua gue bakal mati?"

Mendengar candaannya, aku mendengus pendek. "Kamu sih emang nggak pernah punya ambisi."

"Apa pentingnya punya ambisi kalo dengan hidup biasa aja gue udah bahagia?" sahutnya kemudian melempar bola ke ring. Meleset. Ia mendengus, berlari memungut bola.

"Beda sih ya anak orang kaya," sindirku. "Lulus nanti, nggak susah payah pun pasti kamu bisa kuliah. Beda sama aku."

Mendengar itu, Karen yang tadinya hendak melempar bola, mengurungkan niatnya dan melangkah mendekatiku. Dia duduk bersila di sisi kananku, menghela napas. "Ser, lo tahu nggak, apa yang mahal di hidup ini?"

"Pendidikan," balasku asal.

Karen menepuk dahiku, terkekeh geli. "Jangan curhat deh. Bukan, bukan itu."

Aku mengelus dahiku sambil mengeryit kesal.

"Yang mahal di hidup ini tuh waktu sama niat," balasnya tenang. Aku memandangnya diam. Karen melanjutkan, "Lo harusnya bersyukur, biarpun mungkin secara ekonomi lo di bawah gue, setidaknya lo punya satu : niat." Dia menjentikkan jari. "Dan satu lagi, tujuan. Nggak semua orang yang punya duit punya niat dan tujuan yang jelas. Contohnya kayak gue."

Aku tersenyum mendengar ucapannya. "Terus, kenapa nggak buat dari sekarang niat dan tujuan kamu?"

Karen mengangkat bahu, memandang barisan kursi penonton yang kosong. "Gue nggak percaya kalo niat sama tujuan harus gue buat."

"Sok dewasa banget kamu." Aku menepuk keras bahunya. "Coba aku denger apa pendapat kamu tentang ini."

Saat aku kembali menumpukan dagu sambil memandangnya, Karen segera memalingkan wajah. "Ya..." Tampaknya kinerja otaknya mendadak melambat. Karen berdeham sesaat. "Maksud gue, dalam diri setiap orang itu pasti udah ada yang namanya tujuan. Peluang untuk sukses udah pasti ada. Nah, kalo niat sendiri sih, tergantung orangnya, Ser. Jadi kata yang tepat menurut gue bukan 'buat' tapi 'nyari'. Nyari tujuan itu dalam diri gue dengan gitu niat untuk mencapai tujuan itu akan tercipta dengan sendirinya."

Aku menganggukkan kepala, memikirkan kata-katanya. "Ren, salah nggak sih punya impian yang tinggi? Bukannya kalo impian kita ketinggian pas jatuh nanti pasti sakit banget rasanya?"

Tiba-tiba, Karen bangkit berdiri. Senyum di bibirnya mengembang lebar. Dia mengulurkan tangan ke arahku yang mendongak menatapnya heran. "Bakal gue tunjukin kalo jatoh itu asik."

Saat itu, aku sama sekali tak tahu apa yang ada di pikiran Karen. Dia mengajakku pergi ke sebuah taman di daerah Bandung Selatan. Senyum mengembang di bibirnya tak lepas ketika dia menepikan motor dan menggandengku ke area bermain anak. Segalanya menjadi jelas bagiku begitu Karen menggiringku ke sebuah trampolin raksasa seukuran lapangan bulu tangkis yang kala itu juga dipadati pengunjung. Bukan hanya anak-anak, banyak orang dewasa yang juga lompat-lompat di atasnya.

Karen bergabung dengan para pengunjung lain. Laki-laki itu melompat-lompat seperti anak kecil. Semakin lama, lompatannya semakin tinggi dan tawanya semakin lepas. Aku ikutan tertawa, tapi masih berdiri di luar trampolin, ingin ikut naik tapi takut jatuh.

"Ayo, Ser!" seru Karen. "Lo liat, kan? Di sini semua orang bisa jatuh setelah lompat tinggi, tapi mereka semua ketawa. Lo juga harus coba!"

Sekali lagi, Karen mengulurkan tangannya. Dan sekali lagi aku menyambutnya.

Sore itu, untuk pertama kalinya aku tak takut terjatuh. Karena ada Karen di sisiku, kurasa, tak apa terjatuh setinggi apa pun langkah yang kugapai. Kurang-lebih seperti itulah hubunganku dengan Karen.

===

Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang