Hella! Aduh terima kasih yang sudah mau baca meskipun tokohnya bukan anak icil lagi:")
Let's enjoy!
"Ya ampun! Kamu kenapa belum berangkat? Ini sudah mau jam tujuh, Kara!" suara panik Ify menyadarkan putrinya yang tengah berjalan gontai di antara anak tangga.
Kelopak mata yang awalnya berat sekali untuk diangkat mendadak terbuka lebar. Diliriknya jam tangan yang terpasang pada lengan kirinya, membuat Kara refleks melompati dua anak tangga sekaligus.
"Aduh, Pa! Ma! Aku telat ya ampun!" seru Kara ikut panik.
"Pa, Kara nebeng ya pleaseeeee banget. Jangan suruh Kara naik angkot," pinta gadis itu dengan wajah memelas.
Selama ini Ify memang membiasakan Kara hidup mandiri, salah satunya dengan membiasakan berangkat dan pulang naik kendaraan umum.
"Kalau sama Papa, nggak akan ada bedanya," kata Ify.
Benar yang dikatakan mamanya. Pasti sangat macet. Naik angkot saja harus pagi sekali supaya kalau macet pun, ia masih bisa selamat. Ini semua salahnya sendiri kenapa semalam jadi susah tidur setelah diantarkan Dama. Bukan karena diantarkannya, tapi ia lapar—berhubung tidak jadi makan malam—sehingga matanya sulit terpejam. Jam 1 pagi pun Kara terpaksa bangun untuk memasak mie instan karena sudah tidak tahan. Waktu bangun, dikiranya masih jam setengah enam. Barulah ia ingat kalau jam di kamarnya mati.
"Terus Kara gimana dong?" tanyanya memelas.
Sebagai siswa yang teramat biasa alias tidak terkenal-terkenal amat, Kara layaknya siswa-siswi pada umumnya. Takut dihukum. Jangankan dihukum, remedial saja Kara takutnya setengah mati.
Mamanya lantas tampak menelpon seseorang.
"Dama udah berangkat belum, Vi?"
Ah, mamanya menelpon Tante Sivia.
"Tolong jemput Kara ya. Dia telat nih. Kalo bareng Rio kan nggak akan sempet."
"Oke oke. Thanks ya."
Kara masih menanti meskipun dengan firasat buruk.
"Kamu bareng Dama ya. Kata Tante Sivia, Dama baru mau berangkat. Mending kamu tungguin di teras," jelas mamanya.
"Tapi, Ma..."
Oh, sial. Kara tidak punya alasan untuk menolak. Gadis itu beralih menatap papanya yang sedang menyeringai, sepertinya tahu betul akan kegelisan yang tengah dirasakan putri tunggalnya.
"Bareng Dama ya? Daripada bareng Papa nanti telatnya makin jauh," ujar Rio.
Kara hanya menganggukkan kepalanya malas.
Tak lama kemudian yang ditunggu muncul juga. Dama Antariksa. Kesal! Baru beberapa detik saja pemuda itu sudah mencuri perhatian Rio dan Ify. Bahkan Ify menitipkan dua bekal, untuknya dan untuk Dama.
"Pergi dulu, Tante, Om," pamit Dama.
Kara sudah ada di boncengan motornya.
"Iya. Hati-hati ya," pesan pasangan suami-istri itu.
Melesatlah motor itu menuju Budi Karya. Dama terpaksa memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Kali ini bukan karena mau mengerjai Kara, tapi karena sudah kesiangan. Kara sendiri bingung harus berpegangan pada apa sampai akhirnya gadis itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil meremas kedua ujung ransel.
KAMU SEDANG MEMBACA
K: Beautiful Sky [Compeleted]
Teen FictionSahabat jadi cinta sudah biasa. Musuh jadi cinta pun sudah biasa. Tapi, apa jadinya kalau sudah sahabatan sekaligus jadi musuh bebuyutan tapi akhirnya jatuh cinta? Sayangnya baik Dama maupun Kara tidak ada yang sadar. Kalau Dama gengsi dan seringkal...