Hope you like it~~~
Alis tebal Dama bertautan ketika menyaksikan sahabat sekaligus musuhnya memasuki kelas dengan sedikit tertatih. Setelah dia perhatikan, barulah Dama mengerti bahwa penyebab Kara berjalan demikian karena lututnya terluka. Baru saja dia akan membuka suara namun ditelan kembali karena sadar bahwa Billy memang tidak masuk. Bisanya disaat seperti ini Dama akan bertanya pada teman sebangkunya itu, dan akhirnya dibalas dengan nada sewot 'lu nanya gue terus gue nanya siapa?'.
"Dam, gue duduk sini ya."
Dama menelengkan kepalanya kemudian mengangguk singkat. Kefan lantas menduduki kursi yang biasa ditempati oleh Billy.
"Tumben banget tuh anak nggak masuk. Kenapa ya?" gumam Kefan.
Merasa tak mendapat jawaban, pemuda itu memutar kepalanya hingga menghadap tepat ke arah Dama. Ah, pantas saja tidak ada respon apapun sebab Dama tengah memfokuskan perhatiannya pada gadis di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Kara?
"Yailah, katanya sahabat. Tapi lihatinnya gitu amat?" dengus Kefan membuat Dama beralih menatapnya.
"Ngomong sama gue?"
Kefan berdecak, "Nggak. Sama tembok. Pake nanya lagi."
"Ngapain lihatin Kara terus?" imbuhnya.
"Aneh aja. Lututnya diperban kayak gitu tapi dia senyum-senyum," ceplos Dama.
Spontan Kefan memindai Kara betul-betul. Ah, barulah dia sadar bahwa lutut gadis itu memang diperban namun berhubung rok yang dikenakan menutupi sebagian lutut, jadilah perban tersebut kurang jeli tertangkap mata. Pertanyaannya, mengapa Dama dengan mudah melihatnya? Padahal anak-anak lain hanya diam, tidak heboh menanyakan keadaan Kara. Detik berikutnya seringai jahil Kefan muncul.
"Perhatian banget sih," ejek Kefan.
"Plis ya. Mulut lo lemes banget. Kalo gue perhatian ke dia, wajar dong. Namanya juga sahabatan dari orok. Orang tuanya kan nitipin dia ke gue," sanggah Dama lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
"Widih keren juga ya sampai udah nitipin segala. Fix kalian emang dijodohin," Kefan mulai berasumsi macam-macam.
Dama memutar bola matanya malas. Sepertinya asumsi mengenai dirinya dan Kara mulai sulit dikendalikan.
"Bercanda, Dam. Woles my bro," cengir Kefan.
"Woles pala lu," kesal Dama.
"Tahu nggak, Dam? Semakin lo ngelak, semakin gue yakin kalo lo emang cinta sama Kara. Nggak masalah sih sekarang lo nyangkal mulu, tapi... jangan nangis misal suatu saat si Kara nemuin cowok yang pas buat geser posisi lo," ujar Kefan serius.
Dama lantas mengusap pelipisnya seraya geleng-geleng kepala, tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran pemuda di sampingnya ini.
"Serah lo. Mending gue dengerin Pak Ridho."
Di lain sisi, Kara memang tampak baik—bahkan sangat baik—meskipun lututnya masih terasa sakit. Apalagi dia tak nyaman ketika berjalan. Namun karena hatinya berbunga-bunga, jadilah dia malah senyum-senyum sedari tadi. Fany yang nyaris bosan karena setiap hari disuguhi wajah kusut gadis itu—karena diisengi Dama—pun mendadak heran. Setiap kali bertanya, yang didapatkannya justru senyum Kara semakin merekah.
"Ada yang bisa melanjutkan puisi yang saya buat?" Pak Ridho menginterupsi.
Seketika muncul ide brilian di otak Dama. Naluri mengisengi Kara terbit disaat yang tepat. Pemuda itu lantas mengangkat tangannya, membuat seluruh perhatian terpusat kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
K: Beautiful Sky [Compeleted]
Teen FictionSahabat jadi cinta sudah biasa. Musuh jadi cinta pun sudah biasa. Tapi, apa jadinya kalau sudah sahabatan sekaligus jadi musuh bebuyutan tapi akhirnya jatuh cinta? Sayangnya baik Dama maupun Kara tidak ada yang sadar. Kalau Dama gengsi dan seringkal...