Empat Belas

996 83 0
                                    

“Kara,” gumam Dama tanpa sengaja menangkap setetes cairan bening mengalir dari sudut mata gadis itu.

Seketika hatinya memerintahkan Dama untuk merengkuh gadis itu, membuatnya tenang dengan memberikannya sandaran. Dia tahu betapa dekatnya Kara dengan Andra. Hanya saja, saat ini apa yang ada di dalam hatinya tidak sejalan dengan otaknya. Di saat hatinya masih memaksa untuk melakukan semua itu, dia justru hanya membeku di tempatnya.

Detik itu Biel menyadari ada yang aneh dengan kedua sahabatnya. Dia memang bukan pemuda yang peka terhadap perasaan orang lain. Namun terbiasa menyaksikan Dama dan Kara membuatnya mengerti bahwa Dama tidak akan tinggal diam melihat gadis yang masih tertunduk di sebelahnya semakin terisak. Tanpa bertanya, Biel menarik Kara, membiarkan air mata gadis itu membanjiri bahunya.

“Andra nggak akan kenapa-napa kan, El?” tanya Kara dengan suara parau.

Biel diam. Tidak mampu memberikan jawaban apapun. Seharusnya, bukan padanya gadis ini bersandar tapi pada Dama. Sebab Biel mengerti hanya Dama yang dapat melegakan hati Kara.

Tanpa sadar, Dama mendesah kasar. Disaat seperti ini pikirannya justru berkelana. Di lain sisi, Fany yang sedari tadi hanya menyimak pun merasakan kejanggalan di antara Dama dan Kara sama seperti yang Biel rasakan.

Selanjutnya lamunan mereka semua buyar mendengar pintu ruangan dibuka.

“Biel,” sapa sang dokter membuat Biel menegapkan tubuhnya sehingga Kara berangsur mengangkat kepalanya.

“Andra nggak pa-pa kan, Pa?” tanya Biel tanpa basa-basi.

Raut wajah dokter yang tak lain adalah Cakka—Papa Biel—berubah namun tetap mengangguk. “Alhamdulillah tidak apa-apa. Besok juga sudah boleh pulang. Kalau tadi Andra terlalu lama dibawa ke sini, Papa nggak jamin sekarang kalian masih bisa ketemu.”

Jawaban tersebut mampu menyentakkan Biel, Dama dan Kara.

“Sekarang kalian biarin Andra istirahat dulu. Kalau mau masuk nggak pa-pa, tapi jangan dibangunin apalagi diajak ngobrol,” pesan Cakka.

Mereka mengangguk patuh.

“Papa masih harus kerja. Oh iya, biar Papa yang ngabarin Alvin sama Shilla. Sementara ini kalian yang jagain ya.”

“Iya, Pa.”

“Iya, Om.”

Cakka tersenyum kemudian bergegas pergi karena masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Sepeninggalan pria itu, mereka bergegas masuk ke ruangan tanpa menimbulkan suara sedikitpun sebab Andra masih tertidur.

“Kenapa bisa gini sih, Ndra?” lirih Kara menatap sedih sosok Andra yang tampak lemah tak berdaya.

“Udah, Kar. Lo denger kan apa yang bokap gue bilang? Dia udah nggak pa-pa. Mending sekarang lo duduk dulu,” ceplos Biel.

Kara menoleh kemudian mengangguk. Sejenak dia menatap Dama yang ternyata sudah duduk. Hanya sejenak sebab Kara buru-buru mengalihkan pandangannya lalu mengambil tempat di sebelah Fany.

“Lo mau makan apa, Kar? Biar gue beliin,” ujar Fany.

“Nggak, Fan. Gue nggak laper,” jawab Kara pelan.

“Lo belum makan dari siang, Kar. Kasihan itu perut lo. Gue beliin makan ya?” desak Fany sampai akhirnya Kara mengangguk.

“Dam, lo mau nitip apa?” tanya Fany pada Dama.

“Minum apa aja, Fan. Dingin ya.”

“Oke.”

Sejurus kemudian, Fany beranjak. Sontak Biel melotot karena hanya dirinya yang tidak ditanya. Sebelum gadis itu benar-benar menghilang, Biel menarik bajunya hingga membuat Fany terpaksa menghentikan langkah. Gadis itu berbalik menatap Biel dengan pandangan bertanya.

K: Beautiful Sky [Compeleted]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang