Delapan Belas

1K 92 3
                                    

“Eh mau ke kantin, Fan?” cegat Arga di depan kelas.

“Iya. Kenapa? Mau nitip? Nggak. Yang kemarin aja duitnya belom lo ganti,” sahut Fany galak hingga membuat Arga berseringai.

“Bayarnya pakai lagu nggak bisa?” balas Arga tanpa dosa.

Fany merengut. “Bodo ah. Yuk, Kar! Sinting si Arga!” cecarnya sambil menarik Kara untuk cepat-cepat pergi.

Kara hanya menurut meskipun dengan langkah berat. Tidak biasanya pula dia tak bersemangat menuju kantin. Sepanjang koridor, cerocosan Fany mengenai Biel tak dihiraukan sama sekali layaknya angin lalu. Namun dia tetap kukuh mengoceh. Bukan apa-apa, Fany hanya ingin teman sebangkunya kembali seperti sedia kala. Tak lagi murung seperti ini.

Akan tetapi, lama kelamaan Fany merasakan langkah di sampingnya menghilang. Gadis itu berhenti, menelengkan kepala kemudian terhenyak saat sadar bahwa Kara sudah tak ada lagi di sebelahnya. Begitu membalikkan badan, yang didapatinya justru sahabatnya tersebut menghentikan langkah jauh di belakangnya. Fany menepuk dahinya lalu menghampiri.

“Kar! Sialan lu ya! Gue ngomong daritadi tahunya lo masih di sini,” omel Fany.

Kara diam seribu bahasa. Tak menanggapi sama sekali. Pandangan gadis itu fokus tertuju pada satu titik. Fany yang penasaran akhirnya mengikuti arah pandang sahabatnya.

Di sana ada Dama dan Agatha. Berdiri di depan gazebo sambil berpelukan. Entah apa yang sedang terjadi, tapi Fany sempat menangkap bahu Agatha berguncang. Bola mata Fany lantas bergerak kembali. Ternyata sahabatnya itu masih tak berkedip memandangi Dama serta Agatha. Selanjutnya, Fany menarik paksa tangan Kara menuju kantin.

Thanks,” cicit Kara sedikit terkesiap sambil menundukkan kepalanya.

***

Awalnya pemuda yang menjadi salah satu top ten Budi Karya ini ragu untuk meluluskan rencananya. Tetapi, ucapan Andra serta Kefan terus berkelebat di otaknya. Dama mendesah kesar, hari ini semua tentang Agatha dan dirinya yang tak pernah dimulai harus dituntaskan. Untuk itu dia meminta Agatha bertemu saat istirahat dan disambut dengan suka cita oleh gadis itu. Seumur-umur, tak pernah sekalipun Dama mengajaknya bertemu. Selalu gadis itu yang memulai segalanya.

“Kita ngapain ke sini? Nggak ke kantin?” tanya Agatha melirik gazebo.

“Ada yang perlu gue bicarain,” jawab Dama membuat gadis di depannya bungkam.

Dama menarik nafas tak kentara, “Boleh gue nanya sesuatu sama lo?”

“Nanya apa?” tanya Agatha tak dapat menyembunyikan kerutan di dahinya.

“Perasaan lo ke gue itu, bentuknya kayak gimana?”

Sesaat Agatha tampak terkesiap mendengarnya. Bola mata berwarna cokelat itu memandang lekat-lekat pemuda yang selama ini ingin sekali dia miliki. Selanjutnya, Agatha tertawa renyah.

“Lo masih perlu nanyain perasaan gue, Dam? Emangnya semuanya nggak bisa jelas buat lo baca sendiri?” balasnya retoris membuat rahang Dama mengeras.

Benar. Semuanya sudah cukup jelas. Bagaimana gadis itu selalu bersaha mendekatinya, berusaha membuatnya fokus, bahkan jatuh hati. Semuanya jelas. Hanya saja, Dama justru tak dapat merasakan apapun.

“Gue cinta sama elo, Dama. Cinta. Selama ini gue ngejar-ngejar elo, nurunin harga diri gue di depan lo cuma karna pingin buat elo ngerlihat gue sepenuhnya. Dan elo, masih nanyain perasaan gue kayak gimana?”

Dama masih membisu. Pemuda itu mengatur nafasnya yang sempat tercekat lalu menatap dalam ke mata Agatha.

“Tapi maaf, Tha. You fall in love with people you can’t have.

K: Beautiful Sky [Compeleted]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang