Tak terasa besok sudah ujian kenaikan kelas. Selama itu pula hubungan Dama dan Kara merenggang semakin jauh.
Siang ini panas matahari sedang terik-teriknya, membuat pemuda yang berniat kabur untuk main mengurungkan niat. Lagipula mamanya tercinta sudah memperingatkan dirinya supaya belajar keras untuk ujian ini mengingat UTS kemarin nilainya sangat mengecewakan. Bukan salah Dama juga, batinnya. Sebab dongeng tentang Bu Rafi akhirnya benar-benar dirasakannya sendiri.
Wanita itu bukan hanya membuat Dama tak berkutik di tempat, tapi juga berhasil memangkas rambut Dama yang panjangnya tak lagi normal sesuai tata tertib sekolah. Pemuda itu hanya pasrah saat gunting yang dipakai oleh Bu Rafi memotong rambut kebanggaanya. Selama beberapa bulan setelah UTS, Dama pun terpaksa menutupi ketidakpedeannya dengan mengenakan tudung hoodie dalam keadaan apapun. Untungnya sekarang rambut itu sudah memanjang lagi.
“Duh, nggak bisa bayangin gue nih kalo besok yang jagain Bu Rafi. Fisika lagi.”
Ah, Dama sampai lupa bahwa di kamarnya saat ini ada Billy. Tadi pagi Dama memang mengatakan kalau dia ingin ke rumah teman sebangkunya itu, tapi dengan alasan takut kulitnya tersengat panas matahari akhirnya Billy mengalah. Dia lah yang main ke rumah Dama sambil menenteng buku catatan yang dipinjamnya dari Kefan.
Dama hanya mengangguk-angguk sebagai respon lalu mencari nada yang pas melalui gitar yang sedari tadi di pangkunya. Tak lama kemudian pemuda itu memainkan sebuah lagu campursari yang membuat Billy tak dapat menahan diri untuk bergoyang.
“Kode minta disawer ya lu?” cetus Billy membuat Dama melotot.
“Kampret lu. Selesaiin tuh catetan, daripada Kefan ngamuk-ngamuk,” balasnya.
Mau tak mau Billy pun nyengir. Raut wajahnya berubah cengengesan.
“Omong-omong, cepet banget udah UKK. Kelas dua nanti kita sekelas nggak ya?” tanya Billy tanpa menghentikan aktivitasnya—menyalin catatan.
Dama melirik pemuda itu lalu mengedikkan bahu. “Kalo nggak sekelas berarti lo emang bukan jodoh gue, Bil,” sahutnnya asal membuat Billy refleks melemparkan salah satu buku Kefan yang tergeletak di sampingnya.
“Najisun,” umpatnya membuat Dama terkekeh.
“Lagian lu kenapa sih? Mellow amat.”
“Emang lo nggak sayang sama anak-anak sekelas? Nggak sayang sama Kara? Nggak mau sekelas lagi? Nggak mau sebangku sama gue lagi?”
Sesaat pemuda itu menatap sebal ke arah Billy.
“Nggak usah bangkitin sisi macan gue dong. Nggak ada biskuat nih,” hardiknya.
Billy tertawa hambar. Seperti biasa, joke Dama memang selalu receh.
“Makanya, baikan dong sama Kara. Udah mau kenaikan kelas masih diem-dieman aja kalian. Lagian, kenapa sih gengsi lo gede banget? Mumpung masih kosong, kalo udah isi—“
“Lu pikir dia hamil?” potong Dama sewot.
Billy kembali nyengir. “Maksud gue mumpung dia jomblo. Ntar kalo deket sama cowok lain lagi, belum tentu lo punya kesempatan,” ralat pemuda tersebut.
Beberapa saat kemudian Dama tampak merenungi ucapan Billy. Yang dikatakan pemuda itu memang benar. Sejak Fany menceritakan perihal kejadian antara Kara dan Virgo, entah mengapa pemuda itu menganggap dirinya tidak pantas mengambil porsi lebih di hidup Kara. Untuknya, mengetahui hal tersebut sudah cukup meskipun ada amarah yang menyeruak dan ingin dituntaskan pada Virgo.
Sayangnya, sekali lagi, Dama menganggap porsinya sudah cukup. Dia hanya perlu menjaga Kara dari kejauhan. Tidak lagi seperti dulu.
“Jangan pernah ragu buat memulai,” tegur Billy.
KAMU SEDANG MEMBACA
K: Beautiful Sky [Compeleted]
Teen FictionSahabat jadi cinta sudah biasa. Musuh jadi cinta pun sudah biasa. Tapi, apa jadinya kalau sudah sahabatan sekaligus jadi musuh bebuyutan tapi akhirnya jatuh cinta? Sayangnya baik Dama maupun Kara tidak ada yang sadar. Kalau Dama gengsi dan seringkal...