Sudah tengah malam namun gadis cantik ini masih terjaga di balkon kamarnya. Gelapnya komplek yang ditinggalinya pada jam seperti ini tak membuatnya gentar sedikitpun untuk tetap bercokol bersama sang langit. Malam ini tak ada bintang, membuat gadis itu hanya dapat memandang lembaran kosong berwarna hitam pekat berhiaskan rembulan. Kara tahu bintang-bintang itu masih ada di tempatnya, mereka hanya tak ingin menampakkan diri. Namun keberadaan bulan yang hanya sendirian mau tak mau mengingatkan Kara pada dirinya sendiri.
Setelah acara menangis di pelukan Denisa, Kara pamit. Dia tidak bisa berada di sana lebih lama karena sama saja membiarkan hatinya terluka lebih lama pula. Dia takut pertahanannya akan runtuh. Maka, Kara bersikeras memesan jasa taksi online meski Virgo memaksa untuk mengantarkannya pulang. Bahkan Denisa ikut serta membujuknya.
Melihat adegan tersebut tentu membuat dadanya nyeri. Sumpah, Kara tidak akan tega menyakiti gadis sebaik Denisa yang membiarkan kekasihnya dekat dengannya. Denisa terlalu baik hingga otak gadis itu pun seolah di-setting hanya untuk berprasangka baik. Andai dia tahu bahwa selama ini Kara berusaha menggeser posisi gadis itu—meskipun secara tak sadar—Denisa pasti kecewa.
Hah, Kara menghela nafas panjang. Air matanya sudah habis tak berbekas. Dia tak sanggup menangisi semuanya lagi. Sopir taksi yang melihatnya menangis pun jadi panik, tapi Kara masih tak dapat membendung aliran sungai di pipinya. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung menubruk tubuh mamanya, menyalurkan kesakitan serta kepedihan yang terus menyerang dan menghantam ulu hatinya. Dan Ify, wanita itu tidak menanyakan apapun, hanya mendekap putrinya hingga tangis itu reda.
“Andai gue percaya sama Dama,” desisnya melirik kamar di depannya yang sudah gelap. Lampunya redup sejak Kara kembali ke kamar.
Tiba-tiba saja gadis itu teramat rindu akan keberadaan pemuda yang menempati kamar tersebut. Pemuda yang dulu selalu ingin dihindarinya. Dia rindu dibuat sebal setengah mati. Dia rindu pada semua ulah pemuda itu. Dan akhirnya, Kara sadar bahwa hidup tak pernah bisa sejalan dengan keinginannya.
Kara mendesah, berusaha menyingkirkan penat yang menyelimutinya, lantas dihiraukannya semilir angin yang berusaha menyentuh permukaan kulit yang tak tertutup baby doll-nya. Dingin. Tapi baginya justru sangat menyejukkan. Kara mulai memindai balkon kamar Dama dengan seksama. Pemuda itu, masihkah terjaga sepertinya atau justru sudah terlelap? Kalau saja Dama masih terjaga, Kara berharap pemuda itu tiba-tiba keluar dari sarangnya dengan seringai jenaka, seperti dulu.
Rasanya memori tentang Dama terlalu banyak hingga Kara bingung harus merindukan yang mana. Yang jelas, saat ini dia menatap balkon itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kegundahan di dalam matanya.
“Gue nyesel banget nggak dengerin elo,” gumam Kara menarik nafas panjang.
Semenjak kepindahan Dama, mereka seringkali berinteraksi melalui balkon ini meski harus diawali dengan pertengkaran seperti biasa. Terkadang Dama akan melempari jendela kamarnya dengan camilan supaya dia keluar, terkadang dia juga menggangu Kara menjalani hobinya memandangi langit, tapi terkadang pula dia malah menemani gadis itu dengan memainkan gitar kesayangannya. Tanpa bernyanyi. Hanya ada suara petikan gitar namun mampu membuat Kara terhanyut.
Disaat-saat tertentu, pemuda itu akan mengubah balkon mereka jadi benteng pertempuran saat ajang lempar-melempar. Kara akan melemparkan benda-benda yang diambilnya dari kamar ke balkon sebelah, begitu pula dengan Dama. Mereka tidak akan berhenti sampai ada yang terkena lemparan, pokoknya lemparan itu harus tepat sasaran. Esoknya keduanya saling menagih benda-benda yang sudah dilempar, meski ada saja benda milik Kara yang sengaja ditahan lebih lama.
Pernah sekali Kara tidak sadar melemparkan buku PR-nya. Pada saat akan mengumpulkan, gadis itu panik setengah mati. Dia sudah bersiap jika harus keluar dari kelas tapi ternyata buku PR-nya sudah terkumpul. Setelah diusut, ternyata Dama lah dalangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
K: Beautiful Sky [Compeleted]
Teen FictionSahabat jadi cinta sudah biasa. Musuh jadi cinta pun sudah biasa. Tapi, apa jadinya kalau sudah sahabatan sekaligus jadi musuh bebuyutan tapi akhirnya jatuh cinta? Sayangnya baik Dama maupun Kara tidak ada yang sadar. Kalau Dama gengsi dan seringkal...