Allah Maha Baik

702 34 13
                                    

Pandangan Rafif terarah pada layar ponsel yang menyala, membuat keningnya mengerut ketika lengannya baru saja bersedekap mengurangi hawa dingin yang sedari tadi mengurung dirinya.

Itu adalah panggilan masuk, dan satu hal yang baru saja ia ingat kalau ia belum menyalakan mode suara.

Bersyukurlah ia tidak sesibuk biasanya yang akan melupakan ponsel ketika ia benar-benar lupa menyalakan mode suara sehingga akan membuat Ryan marah besar karena beberapa klien jadi menghubunginya.

Itu pernah terjadi dua kali ketika Rafif benar-benar dalam keadaan lelah. Ia pun menggeser layar virtual ke arah kanan ketika tahu kalau Farah menghubunginya.

"Halo,"

"Halo assalamu'alaykum. Kakak di mana?"

"Wa'alaykumussalam. Di kantor De, kenapa?"

"Aku lagi di Jakarta, terpaksa menunda ke Bogor karena mau ketemu kakak. Pokoknya aku mau ketemu sama kakak dan ini sangat penting, gimana?"

Kening Rafif mengerut mendengar ucapan adiknya di seberang sana. Ia menghela napas mendengar Farah yang berbicara sekaligus bertanya.

"Emang kakak bisa menolak?"

"Kalau gitu mumpung aku sebentar lagi sampai di daerah kantor kakak, kita ketemu di kafe deket kantor kakak jam makan siang, ya?"

"Oke, emang kenapa?"

"Ya udah assalamu'alaykum."

Sambungan telepon terputus mengundang alis Rafif menyatu ketika melihat layar ponselnya kembali menampilkan gambar utama.

Farah kebiasaan, adiknya itu akan bertanya dengan jelas saat bertemu dan tidak akan menghabiskan waktu di telepon hanya sekadar memberi tahu inti pembicaraan.

Tapi kemudian Rafif tersenyum dan menggelengkan kepala mengingat adiknya itu sudah menjadi dosen di universitas di Bogor.

Suhu tubuh Rafif kembali normal sekarang. Berterima kasihlah pada Farah karena berhasil mengalihkan pikirannya dari raut wajah Ayesha yang sempat ia lihat saat meeting tadi.

Ia jadi merasa bersalah pada Ayesha karena melamarnya sabtu malam kemarin.

Apakah Ayesha menampilkan wajah gelisahnya karena lamaran itu? Karena dirinya yang datang dengan tiba-tiba?

Mengambil napas adalah keputusan yang tepat sekarang. Rafif kembali menatap fokus pada layar tipis laptopnya dan kembali menekuri kerjaannya.

Tidak lebih dari sepuluh detik, pandangannya pun kembali terarah pada seseorang yang masuk ruangannya tanpa diketuk.

Siapa lagi kalau bukan Ryan? Laki-laki yang bagaimanapun akan selalu terlihat keren di mata para gadis.

"Fif, pak Anton ajak makan siang bareng nih, yuk jalan!" Ryan segera merebahkan dirinya ke sofa maroon berjarak dua meter dari meja kerja Rafif dan memanjangkan kakinya di atas lantai berlapis kayu.

"Yah nggak bisa gue, Yan." Jawab Rafif sambil mengetik pada papan keyboard laptopnya.

"Err.. lupa gue lo puasa sunnah, tapi dateng aja gitu kaya biasa nggak bisa?" Kedua tangan Ryan menopang kepalanya sebagai bantalan berusaha merilekskan diri yang terlihat terlampau lelah.

"Bukan karena itu, gue udah ada janji duluan," Ryan menoleh Rafif sebentar kemudian mengangguk. Kepalanya kembali berada di posisi semula.

Janji?

Sepertinya Ryan sudah tahu jadwal Rafif bertemu klien kapan saja karena ia sempat melihat jadwal Rafif ke Ferdi -asistennya Rafif dan ia tahu betul hari ini jadwal Rafif boleh dikatakan kosong.

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang