Hari Duka

928 43 0
                                    

Jangan lupa sholatnya dulu ya gaessss;)

______________________________________________

"Maafkan ibu, Ayesha." Ucap wanita paruh baya kesekian kalinya.

Guru penghitung bilangan itu benar-benar menyesali perbuatannya. Dadanya terhimpit oleh perbuatan yang selama ini menghantuinya. Merebut papa Ayesha, berlaku kasar padanya, berniat jahat padanya, dan merusak segala kebahagiaannya.

Sementara Ayesha hanya menunduk. Gadis itu belum tahu harus berucap apa, ia hanya tak habis pikir sekarang.

"Dulu, ibu dan papamu bersahabat sejak kuliah. Sebenarnya, ibu dan papamu satu SMA waktu itu, tapi boro-boro menyapa, kenal pun tidak, makanya saat kuliah kami mulai akrab dimulai dengan membicarakan masa SMA kami dulu. Papamu adalah orang populer se-SMA Ayesha, karena wajahnya yang memikat hati banyak wanita, karena kecerdasannya yang membuat kagum para guru dan kebaikannya membuat papamu dicintai banyak orang. Termasuk ibu."

Ayesha mulai menoleh memandang ibu Hesti yang bercerita sambil senyum. Ada rasa sakit melihat senyum itu, tapi kemudian ia melawan hatinya untuk menerima kebenaran. Bahwa, tidak selamanya kita merupakan peran utama, bukan? Ayesha sadar betul, mungkin memang ia adalah peran utama dalam hidupnya, tapi saat bertemu orang lain, ia hanya menjadi pemeran tambahan, bisa menjadi protagonis ataupun antagonis.

Ibu Hesti, gurunya itu adalah pemeran utama hidupnya. Mungkin, saat ini Ayesha memang hanya perlu mengondisikan dirinya menjadi ibu Hesti, menjadi bagaimana yang diceritakan ibu Hesti. Mengikuti alunan suara cerita ibu Hesti untuk kembali difantasikan dan dirasakan sakitnya.

"Ibu mencintai papamu sejak SMA, dan begitu senang saat mengetahui kalau papamu satu universitas dengan ibu, satu jurusan pula. Ibu memanfaatkan segalanya, ibu mendekati papamu, bercerita banyak dan ternyata papamu mudah sekali berteman. Sampai akhirnya kita selalu bersama di kampus. Ibu mengagumi papamu, setiap kali ibu selalu mendengar keluh kesahnya, ibu selalu memotivasinya dan selalu menyeimbangi kehidupannya. Tapi, sampai akhirnya mamamu datang."

"Waktu itu, kita berada dalam satu kepanitiaan di acara festival antar kampus. Dari situlah, papamu mengenal mamamu, hanya dalam satu pandangan sebagaimana Zainuddin mencintai Hayati. Papamu luluh melihat keelokkan mamamu. Begitupun mamamu yang terjatuh dalam lingkaran cinta karena kegagahan papamu. Saat itu, apalah ibu? Hanya seorang sahabat yang berada dalam status hidup papamu. Sakit hati ibu, Sha. Hancur hati ibu, berulang kali ibu menegarkan diri untuk bertahan melihat mesranya papa dan mamamu walau hanya lewat pandangan. Hanya saling memandang pun, mereka bisa meruntuhkan ibu, mereka bisa menghancurkan harapan ibu dan menciptakan keputus asaan."

Air mata mulai mengalir di pipi ibu Hesti selagi bercerita, ia masih berusaha menegarkan diri menceritakan semua ceritanya kepada orang pertama yang ia percaya sekaligus orang yang disakitinya.

"Senyum ibu bisa mekar kembali hanya ketika papa dan mamamu bertengkar, mereka sedari dulu memang sering bertengkar, Sha, bahkan dimulai dari hal yang sangat sepele.  Hal itu bisa menumbuhkan lagi harapan ibu. Tapi sampai akhirnya, satu hari yang dulu ibu tidak inginkan datang pun menghampiri, hari di mana papamu meminta doa agar dilancarkan lamarannya kepada mamamu. Hari itu, rasanya ibu membenci hidup. Ibu merasa Allah tidak adil, ibu merasa Allah tidak ingin ibu bahagia."

Astaghfirullah. Ujar Ayesha pelan dalam tangisnya.

Ia mulai menangis karena pernah merasakan hal yang sama seperti ibu Hesti, yakni merasa Allah tidak adil terhadap hidupnya.

Astaghfirullah. Sungguh segala yang terjadi di dunia ini pun sudah ditulis di Kalamullah.

"Ibu bermuka dua, Sha. Di depan papa dan mamamu ibu tersenyum, tapi di belakang mereka ibu menyumpah dan mengutuk. Tapi kebahagiaan selalu menghampiri mereka, dan ibu benar-benar putus asa. Saat itu, hati ibu sudah mati, bahkan mungkin yang masih hidup hanya fisik luar tubuh, tanpa kehadiran otak dan hati. Ibu menunggu kesempatan untuk mendapatkan papamu kembali, sampai akhirnya waktu berpihak pada ibu. Papamu menikahi ibu."

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang