Pahit

463 31 9
                                    

Mata bulat Ayesha membulat sempurna ketika melihat seseorang yang datang. Seseorang yang kemarin dihindarinya, sekarang malah benar-benar melewatinya.

Ayesha sedari pagi banyak berstighfar karena takut tidak bisa mengendalikan dirinya ketika berada di kantor karena takut bertemu dengan dua bosnya.

Dua bos yang ternyata bisa saja mengisi dua hidupnya. Satu masa lalu, satu masa depan, atau hanya masa lalu dan tidak keduanya di masa depan itu benar-benar membuat dirinya ekstra menahan perasaan lagi..

"Assalamu'alaykum, selamat pagi." Rafif menabik sambil tersenyum ke seluruh karyawan.

Mendengar seorang bos yang manis itu menabik, para karyawati seperti tidak ingin ketinggalan memandang bos yang baru saja tiba di kantor.

"Wa'alaykumussalam. Selamat pagi, Pak Rafif." Jawab para karyawan dan karyawati yang begitu bungah.

"Sudah sehatan, Pak?" tanya salah satu kayawan.

"Alhamdulillah nih. Berkat doa kalian." Rafif kembali tersenyum menampilkan lesung pipinya yang manis. "Oh iya, jam 10 kita meeting ya."

"Siap, Pak." Jawab mereka berbarengan.

"Oh iya Reno, ke ruangan saya ya, sekalian bawa draftnya."

"Siap-siap."

Ayesha pun menunduk selama obrolan antara Rafif dengan rekan kerjanya berlangsung. Bersyukurlah ia kalau Rafif bersikap seperti biasa saja dengan menebar senyum sekadarnya pula. Senyum yang memang hanya dimiliki pemimpin seperti dia kepada semua karyawannya. Senyum yang Rafif tidak pernah tahu bisa membuat sebagian hati karyawati meleleh.

Beda dengan Ayesha. Dari awal masuk kantor, ia merasa biasa saja. Ia akui kalau Rafif memang tergolong pemuda yang tampan, tapi Ayesha tidak pernah bermimpi untuk bisa menjadi seseorang yang akan berpengaruh bagi Rafif kelak. Dan sekarang, dengan beberapa kejadian yang sering membuat kepalanya pening, ia memilih untuk menunduk ketika harus bersama Rafif walau bukan dalam artian khusus.

Sebetulnya Ayesha pun sudah pasrah. Ia belum tahu kelanjutannya apa. Tapi ia tidak begitu berharap. Ia hanya kembali melakukan aktivitas senormal mungkin. Dan melihat sikap Rafif seperti tadi pun membuatnya begitu lega. Walau Ayesha masih belum mengerti maksud Rafif apa, tetapi setidaknya pikiran positifnya berkata kalau Rafif juga masih menjaga hatinya untuk Allah. Begitupun ia yang masih menjaga hatinya untuk Allah.

"Udah nggak gelisah lagi ya, Ay?"

"Hah?" Ayesha mengerutkan kening ketika bingung dengan pertanyaan Sani. Beruntunglah ia bisa tersadar dari lamunan.

"Kemarin itu, aku lihat kamu kaya orang yang gelisah. Hela napas kasar terus."

"Eh masa sih?" tanya Ayesha sambil mengangkat alisnya.

"Nggak kasar sih, maksudnya keras gitu. Dan kalo ditanya cuma nyengir terus bilang nggak apa-apa. Selama aku kenal kamu di kantor ini, baru kemarin aku melihat rona wajah kamu yang beda,"

"Ah, itu mah perasaan kamu aja kali, San. Aku baik-baik aja kok." Jawab Ayesha sambil menyengir.

"Ya menurut kamu sih baik. Tapi aku termasuk pemerhati ulung loh, Ay. Jadi selama delapan bulan ini aku tahu betul sifat asli kamu kaya gimana. Dan melihat reaksi kamu kemarin, aku jadi tahu kalau kamu bisa gelisah juga ya." lanjut Sani sambil menopang satu kepalan tangan kanan ke dagunya.

"Ya ampun, San. Kamu lebay deh. Aku 'kan manusia juga." Jawab Ayesha sambil membuka folder kerjaannya.

"Ya aku pikir selama ini kamu jelmaan malaikat."

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang