Takut

59 2 0
                                    

"Ayah pernah berada di posisi seperti kamu lho, Fif." tutur ayah yang membuat Rafif kembali bingung. 

Ayah dan Rafif sudah berada di Biboo Cafe sejak 5 menit lalu.  Keduanya memesan kopi hitam tanpa gula dan susu.

"Maksudnya, Yah?"

"Di posisi kamu seperti sekarang.  Di perusahaan maksudnya." Rafif ber-oh sambil mengangguk. "Tapi,  dulu ayah benar-benar pailit. Alhamdulillah sekarang zaman sudah semakin canggih,  jadi bisa diatasi dengan cepat.  Kalau dulu, untuk meminta pertolongan pun susah sekali."

Rafif menatap ayahnya dengan teliti. Ia begitu penasaran mendengar cerita lanjutan ayahnya. 

"Ayah udah sering gagal, Fif.  Tapi, menurut ayah,  dalam proses perjalanan karir ayah, ayah menemukan tiga kegagalan terberat. Dan dari ketiga itu, permasalahan yang paling rumit bahkan sampai ayah kembali ke titik nol adalah yang terakhir, ketika kamu menginjak usia 1 tahunan."

Rafif menelan ludah. Ia begitu penasaran. 

"Semua teman pergi dari kehidupan ayah.  Semua karyawan pun begitu, ya kecuali Mang Udin sama Bi Murni, mereka bahkan sempat nggak mau digaji sama ayah ibu."

Rafif mengucap maasyaaallah mendengar itu.  Banyak sekali hal yang dia lewatkan.

"Perusahaan ayah pailit bahkan sampai ayah sempat ingin menjual rumah kita, Fif. Satu-satunya orang terdekat yang selalu berada di samping ayah itu adalah ibu kamu. Ibu kamu bahkan tidak marah ataupun kecewa ketika ayah bangkrut.  Ibu kamu selalu menyemangati ayah bahkan ketika ayah benar-benar stres dan tidak ingin bangkit lagi.  Tapi ibu kamu membangunkan ayah untuk bangkit, ibu kamu selalu berada di segala arah untuk ayah."

"Ibu kamu mendorong ayah untuk selalu maju, ibu kamu selalu berada di depan ayah untuk memberi pelukan semangat, bahkan ibu kamu juga selalu berada di samping ayah ke manapun ayah pergi.  Makanya, kamu sempat kami  titipkan ke mama Hera."

Rafif mengangguk masih mendengarkan seolah ia tidak mau terlewatkan sebentar pun.

"Ayah dan ibu titipkan kamu bukan karena merasa kerepotan, Fif.  Sama sekali tidak. Bahkan selama kamu bersama mama Hera,   ibumu sering menangis karena rindu, dan setiap hari menelepon kamu."

"Kami menitipkan kamu, karena setiap kami ajak kamu ke luar kota, kamu selalu sakit. Bahkan kamu pernah di opname, dan saran dari dokter memang saat itu tubuh kamu susah beradaptasi dengan udara di luar Jakarta.  Makanya, ibu kamu dengan berat hati memilih untuk meninggalkan kamu sementara dan tetap mengikuti ayah kemanapun ayah pergi."

Qodarullah, Rafif tahu itu. Bahkan, Rafif tinggal bersama mama Hera pun banyak sekali hikmahnya 'kan? Disusui mama Hera membuatnya menjadi mahrom Farah, Alifya dan Tatsa. 

"Ayah pernah bertanya pada ibu, mengapa ibu tidak membiarkan ayah sendirian? Tapi ibu selalu menjawab 'Karena aku sayang Rafif dan kamu, Mas.' Jawab ibu kamu yang selalu membuat hati ayah tenang, Fif.  Padahal, mungkin salah satunya adalah ibumu takut kalau ayah berbuat macam-macam karena posisi ayah benar-benar jatuh, sejatuh-jatuhnya."

Rafif menghela napas. Mengapa ia baru tahu sekarang cerita ini?

"Mungkin kamu pernah ada pikiran kalau ibumu terlalu boros kan, Fif?" pertanyaan ayah Hasan membuat Rafif menelan ludah dan mengangguk.

Hal itulah yang selama ini membuatnya tidak habis pikir mengapa ayahnya mengizinkan ibunya berperilaku boros?

Ya, menurutnya, ibunya itu terlalu boros.

"Asal kamu tahu, Fif.  Jika ibu menghabiskan uang ayah pun, ayah rela.  Karena ibu sendiri yang membuat kita bisa seperti sekarang ini."

"Tapi bukannya boros nggak boleh, Yah? Terlalu berlebihan Yah ketika Rafif pernah nggak sengaja lihat harga tas ibu yang mahal banget."

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang