Satu Lustrum

512 35 0
                                    

Tidak biasanya selembar selimut masih membungkus tubuh laki-laki itu ketika fajar mulai terbit. Memang itu sama sekali bukan kemauannya, melainkan kebutuhan tubuhnya dari suhu normal yang bisa membuatnya nyaman sekarang. Pendingin ruangan pun sudah dimatikan sejak ia sholat tahajud, tetapi tubuhnya masih menolak suhu di kamarnya yang bernuansa cokelat itu.

Rafif mengeratkan selimutnya dan sedikit menggigil. Matanya terpejam sembari menciptakan getaran di mulutnya. Ia demam dan ini bukan demam akibat pikirannya lagi.

"Fif, kamu kok belum ke bawah, lho anak ibu kenapa?" Ibu Lita masuk kamar dengan cepat ketika tahu anaknya masih berbalut selimut. Padahal ia tadi hanya sedikit membuka pintu dan mengintip, tapi melihat anaknya seperti itu, kekhawatirannya meningkat seketika.

"Ya Allah, badan kamu panas banget, Fif." Keluhnya setelah menempelkan punggung tangannya di kening Rafif.

Rafif membuka matanya mencoba untuk tersenyum. Tapi, bukan senyuman yang terlihat melainkan gemetar dari bibirnya.

"Ibu ambil kompres dulu ya. Kamu nggak usah masuk kantor dulu, nanti ibu hubungi Ryan,"

"Nggak usah, Bu. Nanti Rafif aja yang hubungi Ryan."

Ibu Lita menghela napas pelan dan tersenyum. "Ya udah, ibu ambilkan kompres dulu, ya."

Lipatan kain basah yang menempel di kening Rafif itu pun berfungsi dengan baik. Entah karena air hangat pada kompresan yang membuat pembuluh darah tepi tubuh Rafif melebar sehingga membuat pori-porinya terbuka dan memudahkan pengeluaran panas dari tubuh atau karena tangan ajaib seorang ibu yang mengurus anaknya dengan keikhlasan dan ketulusan.

Dua-duanya itu memang berikatan satu sama lain. Tangan ibu Lita seolah mengirim perintah pada kompresan untuk segera meredakan nyeri anaknya, tapi ibu Lita juga tahu kalau seseorang pun sembuh atas izin Sang Maha Penyembuh.

"Ibu ke bawah dulu ya. Mau bantu bibi masak. Diminum dulu susu dan air mineralnya. Nanti, ibu ke sini lagi bawain kamu sayur."

"Iya makasih, Bu." Setelah mengecup pipi Rafif, ibu Lita beranjak dari kamar.

Laki-laki itu menarik napas dalam dan tersenyum sambil mengamati ibunya keluar. Ia senang, walau mungkin rasa senangnya bagi orang lain begitu sederhana.

Bukannya memang begitu? Suatu hal yang sederhana justru dengan mudah bisa menyenangkan tanpa perlu hal rumit yang menyusahkan.

Ia senang hanya karena mendengar ibunya berkalimat "Mau bantu bibi masak." Itu bagai mimpi bagi dirinya.

Sudah pernah dibahas kalau Ibu Lita -- yang Rafif tahu adalah sosialita dengan kegengsian yang tinggi.

Ia mungkin ke dapur hanya untuk membuat roti atau membuat minuman saja -itupun kalau sedang mood. Soal memasak, ia hanya perlu bilang pada bibi menu masakan hari ini apa.

Tapi sekarang?

Rasanya, semburat pipi Rafif yang tertarik itupun seakan mengirim pesan pada hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuhnya dengan cepat. Rasa senang yang mengeluarkan dopamine pun ikut berusaha membuat tubuhnya kembali normal.

Tapi kemudian ia kembali menunduk setelah dengan tidak sengaja manik matanya menangkap jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

Itu berarti ia harus menghubungi Ryan dan asistennya, Ferdi.

Mengingat Ryan pun rasanya ia serba salah. Hatinya sakit lagi dan itu malah membuat dopamine yang berada di dalam tubuhnya seolah dihadang kuman dengan cepat.

Dan dalam satu tarikan napas, ia pun meraih ponselnya dan meyakinkan dirinya untuk lebih kuat lagi.

"Yan?" panggil Rafif setelah mengucap salam.

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang