Rela

786 36 0
                                    

Kayu berukuran 20cm x 25cm itu kembali dilihatnya. Ryan menghela napas pelan seraya bangun menuju bingkai berisi wanita cantik itu. Ia tersenyum sambil mengusap pelan bingkai itu hingga akhirnya mendekap di pelukannya. Ryan kembali berjalan dan duduk di tepi kasur masih merengkuh bingkai itu dengan lembut.

Betapa ia rindu.

Betapa ia merindukan mamanya. Sedari kecil, Ryan hidup bersama bibi dan paman --dari mamanya. Papanya entah pergi ke mana setelah mamanya meninggal dunia. Menghilang tanpa jejak. Melepaskan semua tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Hal yang sama sekali tidak pernah Ryan rindukan apalagi inginkan.

Dulu, ia hanyalah cowok ceria dibawah naungan kasih sayang kedua orang tuanya. Ryan tidak pernah memimpikan mamanya yang akan meninggal lebih dulu apalagi papanya yang pergi meninggalkannya entah ke mana.

Padahal, banyak hal yang terjadi tanpa Ryan tahu.

Bingkai itu kembali dilihatnya menampilkan sosok wanita cantik yang mirip dengan dirinya. Gen wanita yang menurunkan keelokkan fisik pada dirinya.

Setidaknya dalam hati Ryan bersyukur, ia selalu melihat mamanya yang masih muda dan cantik walau pada gambar 2 dimensi yang dibungkus kayu dan dipernish.

“Ryan rindu Mama,” tuturnya pelan.

Entah dimulai dari kapan, setiap hati Ryan merasakan emosi yang berubah-ubah ia langsung mencurahkan isi hatinya pada bingkai berisi foto mamanya itu. Ia akan merasa lebih tenang seolah mamanya mendengar dengan baik walau tanpa solusi.

“Ryan harus apa, Mah?” tanyanya. “Apa Ryan harus melupakannya? Itu nggak mungkin ‘kan, Mah? Karena mama pun tahu Ryan sayang dia. Ryan sayang Kiera, Mah.” Lanjutnya lagi sambil menjawab pertanyaannya sendiri.

Hatinya berdesir hebat sekarang. Entah mengapa sakitnya begitu dalam saat ini.

“Tapi Ryan harus tetap hidup ya, Mah? Ryan harus tetap menjadi anak yang baik ‘kan, Mah? Rasanya Ryan ingin menemui mama, tapi Rafif pernah bilang kalau Ryan mengakhiri hidup dengan tangan sendiri, Ryan malah tidak akan bertemu mama di sana.” Lanjutnya sambil menahan tangis.

Ia selalu tidak bisa menahan emosinya jika curhat dengan mamanya.

“Dia emang sahabat ngeselin, Mah. Suka ngelarang Ryan melakukan hal yang katanya nggak baik menurut dia." Ujarnya lagi sambil memberengut lalu tersenyum.

"Tapi, dia seolah jadi kakak buat Ryan, Mah. Dia melakukan itu supaya Ryan menjadi cowok kuat, tangguh, baik, sholeh seperti yang mama mau dulu. Apa Rafif utusan mama dari sana?” tuturnya lagi seolah melakukan monolog di depan mamanya.

"Tidak ya mah. Rafif adalah takdir dari Allah untuk menguatkan Ryan."

Dia sama sekali tidak merasa risih setiap melakukan itu. Tiap menciptakan momen dengan mamanya, ia akan menumpahkan segala rasa dan asa. Dia pun tidak tahu, kalau selama ini, tantenya selalu mendengarkan curhatannya dari balik kamar tiap pintunya tidak tertutup rapat.

Seperti hari ini, Vina yang merupakan tantenya itu kembali mendengar curhatan Ryan. Ia yang baru saja ingin mengetuk pintu segera mengurungkan niat setelah mendengar tuturan Ryan kepada foto kakaknya itu.

Ia tersenyum walau pada akhirnya merasa geli mengingat kemenakannya yang sudah besar itu. Tapi, setelah mengingat untuk apa ia ke kamar Ryan pun, ia jadi sedih sendiri.

“Kamu ngapain?” tanya Feri, suaminya.

Vina jadi salah tingkah dipergoki suaminya itu. Ia garuk-garuk kepala.

“Udah panggil Ryan belum?”

Vina menggeleng sedikit membuat suaminya mengernyitkan kening.

“Yee kamu nguping, ya? Apa ngintip?”

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang