Moving On

171 11 0
                                    

Ryan memejamkan matanya sebentar lantas membukanya kembali ketika gemetar pada bibirnya mulai mereda.  Sekarang, ia sedang berada di balkon villa,  menyandarkan lengannya pada pagar balkon yang semakin malam semakin dingin. 

Selepas mengeloni Minami tadi,  Ryan segera ke balkon mencoba menenangkan perasaan yang seolah dihantam palu dengan begitu keras. 

Sekarang, perasaannya masih tak karuan.  Ia sakit.  Bahkan sakit sekali.  Sakit melebihi waktu di mana ia terlepas dari Ayesha Kiera.  Bedanya,  saat ini ia lebih bisa mengendalikan diri dibanding dulu. 

Mengingat percakapan antara Rafif dengan kedua adiknya itu membuat hatinya semakin berlubang.  Perlahan semakin dalam membuat Ryan seolah sulit untuk bernapas. 

Padahal,  belum tentu Ayesha yang dibicarakan itu adalah Ayesha Kiera mantan kekasihnya dulu bukan?

Sedikit pikirannya ada yang berpikir seperti itu,  tapi sebagiannya yang lain yakin kalau Ayesha yang dimaksud adalah Ayesha yang sama.

Ryan mengepalkan tangannya seraya menarik napas dalam.  Ia juga terlanjur kesal karena Rafif yang tidak memberitahu sama sekali soal perasaannya.

Bagaimana bisa Rafif setega itu? Tidakkah Rafif menganggap dirinya sebagai seorang sahabat?

Ryan selalu  berasumsi yang bukan-bukan.  Berasumsi kalau Rafif mungkin tidak ingin didahului olehnya,  padahal Ryan memberi tahu lebih dulu kalau dirinya ingin melamar Ayesha saat di Biboo cafe bukan? Mengapa Rafif melamar Ayesha dan bahkan tidak bilang-bilang?

"Lo jahat banget,  Fif." Ryan bersuara lirih.  Suaranya terdengar serak.

"Bisa-bisanya lo melamar Kiera duluan.  Bahkan setelah gue bilang akan melamar dia. Lo jahat banget,  Fif." keluh Ryan lagi dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ryan kembali menangis walau angin malam berhembus begitu kencang. Seolah rasa dingin puncak tidak ada apa-apanya dibanding sakit hatinya ini.  Udara rasanya tak mampu menghangatkannya malam ini.

Ketika 15 menit berlalu dan keadaan Ryan sudah lebih lega dari sebelumnya,  Ryan pun kembali ke kamar menuju satu alat bersatelit yang akan ia gunakan sekarang.

♥️♥️♥️

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam,  kakak pulangnya lama banget deh." gadis yang mengenakan sweater maroon itu menjawab salam setelah baru saja kembali menutup pintu.  Bibirnya sedikit manyun pertanda kesal karena terlalu lama menunggu kakaknya.  Tapi,  itu memang keinginannya sih.

"Kamu nungguin kakak?" tanya Rafif segera melepas jam tangannya.

"Yaiyalah,  nunggu siapa lagi coba? Aku 'kan pengin ngobrol."

"Ngobrol 'kan bisa besok,  De.  Udah tidur dulu sana,  kakak lagian juga mau mandi dulu. Mata kamu udah kaya mata panda gitu jug -aduh!" Rafif mengaduh setelah Farah melotot dan mencubitnya.

"Ish kakak si lagian.  Udahlah mandi mah mandi dulu deh sana.  Aku tungguin di sini. Aku mau selesai malam ini pokoknya."

Rafif menggelengkan kepalanya mendengar adiknya yang keras kepala itu. 

Kalau ada maunya,  Farah memang susah dilarang.  Ketika dia ingin suatu hal,  meskipun itu sepele dan bisa dilakukan di lain waktu,  Farah akan segera menuntaskannya sampai ia rasa hatinya telah lega.  Kecuali,  kalau matanya tidak mendukung rencananya.

Tapi,  bukan Rafif namanya yang tidak menuruti adiknya itu.  Rafif pun segera naik ke atas menuju kamarnya untuk mandi. 

Sementara Farah,  ia baru saja menyandarkan tubuhnya di sofa empuk berbahan poliuretan yang berada di ruang keluarga.  Kepalanya ia sandarkan ke kepala sofa,  membuatnya sedikit lebih rileks dibanding sebelumnya. 

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang