Ikhtiar

675 38 0
                                    

2,5 Tahun kemudian

Tahun demi tahun berganti membuat kebanyakan orang tua memandangi anaknya dengan tidak percaya. Bukan, bukan tidak percaya pada tingkah laku anak, melainkan pada waktu yang mengubah perkembangan anak dengan cepat.

Begitupun dengan mama Hafsa, ia memandangi Ayesha yang sedang menumis sayur labu. Ia memandangi anaknya dari tempat duduknya.

Rasanya, baru kemarin ia melihat anak sulungnya itu menangis di gendongannya.

Rasanya, baru kemarin ia melihat tawaan lebar Ayesha karena hal-hal yang baru diketahuinya.

Rasanya, baru kemarin ia melihat wajah sedih Ayesha yang sempat salah mengambil langkah tapi juga dengan berani mengubah semuanya.

Sekarang, ia melihat putri sulungnya itu dengan bangga. Ayesha, sudah menjadi perempuan sholehah dengan lulus kuliah predikat cum laude dua setengah tahun yang lalu. Ia bangga dengan Ayesha yang berikhtiar mengubah dirinya menjadi perempuan yang baik bagi agama dan keluarga.

Senyum pun terbit di pipi mama Hafsa. Ada rasa haru di sana.

“Mah, udah jadi nih,” Tutur Ayesha setelah mematikan kompor dan membaui aroma masakan.

Hmmm, aromanya sedap sekali, ia memang menyukai tumisan labu dicampur teri ini.

“Oh iya tunggu, mama ambil piringnya.” Jawab mama Hafsa segera mengambil piring porselen berwarna putih dan memberikannya pada Ayesha.

Ayesha tersenyum lebar, sekarang ini ia benar-benar bisa memasak.

Waktu yang ia gunakan saat kuliah di Jogjakarta memang ia lakukan untuk belajar memasak sekaligus. Bahkan, ia mempunyai buku catatan yang dikhususkan untuk resep makanan –yang kebanyakan resep itu pun ia hafal sendiri.

“Gimana kerjaan kamu yang sekarang, Sha?” tanya mama Hafsa yang sedang menyusun piring-piring di meja makan.

Alhamdulillah lancar, Mah. Pekerjaan sekarang ini membuat Ayesha lebih senang, mungkin karena karyawannya lebih ramah dan lebih sopan.” Jawab Ayesha sambil meletakan tumisannya di meja.

Mama Hafsa mengangguk mengingat Ayesha sudah dua kali ganti pekerjaan semenjak wisuda dua setengah tahun lalu.

“Kalau dihitung-hitung, kamu sudah tujuh bulan ya di pekerjaanmu yang sekarang?” tanya mama Hafsa lagi.

“Iya, Mah. Memasuki delapan bulan.” Mama Hafsa kembali mengangguk.

“Kak!” seru gadis kecil yang berlari sambil membawa tas barunya.

“Eh pelan-pelan," mama Hafsa buru-buru mencegah Maryam yang ingin mendekati kompor.

Ia terlalu takut anak bungsunya itu jatuh mengingat lantainya masih licin akibat terkena cipratan-cipratan minyak. Maryam malah menyengir lebar menampilkan lesung pipi begitu dalam di wajah imutnya.

"Kenapa, Maryam?” tanya Ayesha kemudian.

“Ada temen kakak. Um, kak Alyssa, kak Falah, kak Kalin,” dikte Maryam satu persatu menggunakan jarinya. “Ada tiga kak,” lanjut Maryam menjulurkan hasil hitungannya.

Ayesha menghampiri Maryam menyejajarkan posisinya. Ia memeluk adiknya dan mengelitiki Maryam. “Geli kakak!” Keluhnya sambil tertawa. “Kakak! Hihihi.”

Pipi Maryam pun dicium Ayesha yang kembali menerbitkan senyum di pipi empuk itu dua detik kemudian.

“Nama temen kakak itu kak Alyssa, kak Farah, kak Karin,” ucap Ayesha menjawil hidung Maryam. “Biasakan ngomong huruf r, oke?” lanjut Ayesha sambil mencium adiknya lalu berdiri. “Mah, Ayesha ke depan dulu ya,”

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang