Chapter 25

6.4K 536 13
                                    

Chapter 25

------------

Jade's Point of View

Aku memutuskan untuk berjalan menuju kelas biologi lebih awal daripada yang lain. Entah apa yang harus kulakukan sekarang ini. Harusnya Emily ada bersamaku sekarang, tapi sayangnya Harry sudah membawanya ke ruangan klub drama untuk kembali berlatih.  Waktunya hanya tinggal 2 minggu lagi, dan itu berarti mereka harus berlatih lebih giat daripada sebelumnya.

Lorong yang kulewati begitu ramai. Duh, rasanya aku jadi makhluk paling menyedihkan sekarang-masalahnya, aku jadi lebih sering sendirian baru-baru ini. Emily terlalu sibuk soal dramanya itu sejak beberapa hari yang lalu. Dan aku bukanlah pribadi yang mudah bersosialisasi.

Aku membuka lokerku, dan secarik kertas tiba-tiba saja jatuh dari dalam lokerku.

Kuharap kau bersedia mendengarkan apa yang akan kukatakan. Dan aku juga berharap agar kau tidak akan marah lagi padaku.

Tiba-tiba saja, speaker sekolah berbunyi. Dan kebetulan, letak salah satunya dekat dengan tempatku berdiri.

"Aku tau kau mendengarku sekarang. Aku tau kau baru saja membaca surat yang kuselipkan ke dalam lokermu, dan kuharap kau benar-benar akan mendengarkanku hingga selesai."

Itu suara Zayn. Zayn as Zayn Malik, tentu saja.

"Aku hanya ingin kau tau alasan dibalik semua ini. Aku ingin kau mengerti semuanya, dan mengapa aku tidak mengatakannya padamu. Aku minta maaf, benar-benar minta maaf. Aku tau aku sudah melakukan kesalahan yang amat sangat besar. Dan aku mengakui bahwa aku benar-benar laki-laki yang bodoh. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu, sungguh. Ini semua diluar kendali. Aku bahkan tidak menyadari bagaimana perasaanku padamu setelah berminggu-minggu mengenalmu. Dan kemudian, aku tersadar bahwa aku memang serius mencintaimu. Sejak kita pertama kali bertemu. Aku bisa merasakannya, dan aku yakin akan itu."

Aku berdeham pelan, masih terdiam. Yaampun, mengapa dia melakukan hal-hal yang benar-benar diluar pikiran seperti itu?

"We fell in love, despite our differences. And once we did.."

Aku terdiam, menunggu ia melanjutkan ucapannya. Mataku kembali terasa panas, kemudian sesuatu yang hangat pun menetes dari mataku ketika ia melanjutkan ucapannya. "...something rare and beautiful was created."

Zayn terdiam, sementara aku kembali menangis. Aku bisa merasakan tatapan aneh dan bingung dari orang-orang yang berada di sekitarku, yang dimana mereka juga ikut mendengar apa yang diucapkan oleh Zayn di speaker tadi.

"Aku tau, mungkin kau sedang menangis sekarang. Jadi kumohon, jangan menangis. Aku tidak ingin kau menangis karena sesuatu yang kulakukan. Jika kau bersedia untuk memberiku kesempatan lagi, kau bisa menemuiku di tempat resmi kita pertama kali bertemu sepulang sekolah nanti. Layaknya aku mencintaimu, kuharap kau masih menyimpan perasaanmu padaku seperti dulu. Aku mencintaimu, Jade Williams."

Dan speaker itu pun dimatikan.

Kini tatapan semua orang tertuju padaku. Tatapan mereka yang tadinya bingung, berubah menjadi tatapan "oh, aku mengerti sekarang. Kasihan. Sepertinya Zayn sudah melakukan kesalahan besar sehingga dia harus meminta maaf lewat speaker sekolah. Dasar laki-laki nekat." Atau juga tatapan "dasar gadis tidak tahu diri, sudah bagus Zayn mau berpacaran denganmu. Dan sekarang kau sampai membuatnya meminta maaf lewat speaker sekolah. Kau tau itu membutuhkan keberanian yang amat besar untuk mengungkapkan ucapan seperti tadi lewat speaker."

Kira-kira seperti itu.

Aku menghapus air mataku, berusaha untuk tidak menangis lagi. Aku mencoba untuk tersenyum, meskipun rasanya agak sulit. Ya, mungkin aku bisa memberinya kesempatan. Mungkin ini hanyalah kesalah pahaman, dan aku yang terlalu sensitif.

Tapi bukankah aku wajar marah padanya saat itu?

Ya, tentu wajar aku marah padanya. Siapa yang tidak marah ketika mengetahui bahwa ternyata mereka hanya dipermainkan, dijadikan sebagai taruhan?

Tapi mungkin ini hanya salah paham. Mungkin aku bisa memberinya kesempatan kali ini, tapi untuk kembali mencintainya sepenuh hati? Uh, kupikir  aku butuh waktu soal itu.

Aku masuk ke kelas biologi yang kini sudah cukup ramai. Semua mata terarah padaku, namun tidak satupun dari mereka yang bertanya padaku. Yah, lebih baik begitu. Aku sedang tidak ingin ditanya-tanyai.

Mataku terarah pada papan tulis, memperhatikan Mrs. Montgomery yang sedang menjelaskan materi hingga berbusa. Namun pikiranku sama sekali tidak fokus padanya. Pikiranku melayang jauh entah kemana, meski mataku tetap mengikuti Mrs. Montgomery. Kata orang-orang, istilahnya 'masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.' Atau mungkin 'masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.'? Ah, entahlah. Siapa peduli. Lagipula keduanya terdengar sama, kok.

Tempat resmi kita pertama kali bertemu. Hm, kalau tempat resmi, aku jelas tau maksudnya. Lapangan basket, itu sudah jelas. Karena lorong loker bukanlah tempat dimana aku resmi bertemu dan berkenalan dengannya, bukan?

Entah apa yang kulamunkan sejak tadi-namun semuanya jadi terasa begitu cepat. Tahu-tahu saja, bel pulang sudah berbunyi. Mrs. Montgomery menutup bukunya, kemudian keluar kelas diikuti yang lainnya.

Aku menghela nafas panjang. Yaampun, Jade. Yang akan kau temui hanyalah Zayn Malik, sesosok laki-laki yang begitu kau cintai. Mengapa kau begitu gugup?

***

Spencer's Point of View

"Lou, jangan macam-macam."

"Macam-macam bagaimana maksudmu?"

"Letakkan petasan itu, kumohon. Please?"

Louis tersenyum jahil, kemudian melempar sebuah petasan kecil didepanku. Aku refleks menjerit, memegangi jantungku yang bisa-bisa copot jika aku mendengar suara ledakan itu lagi. Astaga, laki-laki yang satu ini. Benar-benar, deh.

"Lou, demi apapun aku menyuruhmu untuk membuang petasan itu jauh-jauh. Apa kau tidak mendengarku?"

Louis terkekeh. Kupikir dia ingin melempar petasan itu ke arahku lagi, tapi nyatanya tidak. Dia menaruh petasan itu, kemudian berjalan ke arahku. Oh, baguslah. Setidaknya kali ini dia mendengarku.

Um, yah-aku sedang berada di sebuah festival bersama Louis. Entah nama festivalnya apa. Kami hanya ikut mampir, kok. Dan hasilnya juga tidak jelek. Festival ini menyenangkan-tapi tidak dengan suara petasan. Aku benci petasan, sungguh.

Aku menggeleng kesal, kemudian berjalan kembali ke area festival.

"Spence? Kau kenapa? Apa kau marah?"

Aku mengedikkan bahuku tanpa berbalik untuk melihatnya. "Tidak."

Louis yang barusan menyusulku kini berjalan disampingku. "Lalu?"

"Entah."

"Ah, iya iya. Aku minta maaf, deh. Jangan marah padaku, ya? Please..?"

Aku meliriknya, lalu mengedikkan bahu lagi. Habisnya, dia menyebalkan. Aku kan, paling tidak suka petasan. Dan aku sudah bilang padanya, kok. Tapi justru dia malah melanjutkan kegiatan 'melempari Spencer dengan petasan itu mengasyikkan.'

"Hei, aku minta maaf. Serius. Aku tidak tau kau akan semarah ini padaku,"

"Hm."

"Ya? Maafkan aku. Ayolah."

Aku melihatnya berlari ke stan terdekat, membeli sebuah gulali berwarna merah muda lalu berlari ke arahku.

"Ini, untukmu. Sebagai permintaan maaf."

Aku melirik gulali tersebut, kemudian mengangguk. Habisnya, aku kelaparan sekali sekarang. Aku mengambil gulali tersebut, lalu tersenyum tipis. "Permintaan maaf diterima."

Louis tersenyum, namun setelahnya aku malah mendengar suara petasan lagi yang ia lempar di depanku. Louis tertawa, sementara aku langsung mengejar sambil memukulinya. Dasar menyebalkan!

***

Emily's Point of View

"Aku tau ini sudah terlambat. Tapi.." Harry mendekatkan wajahnya padaku, dan pada saat itulah aku baru menyadari sesuatu.

Oh, astaga. Sekarang adalah bagian dimana aku dan Harry harus berciuman.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha mengontrol emosiku sebaik mungkin. Ini hanya untuk drama, bukan? Tidak ada yang spesial dari drama ini. Ya, ini semua kan hanya akting.

Aku diharuskan menatap mata Harry lekat-lekat. Dan disitulah aku baru menyadarinya. Harry begitu mendalami perannya, seakan dia telah dirasuki oleh peran pangeran yang dimainkannya.

Wajah Harry semakin mendekat. Kini aku bisa merasakan hembusan nafasnya membelai pipiku-oh, astaga. Rasanya perutku mual. Yaampun.

Aku menutup mataku, menyiapkan diri. Dan sesuai dugaanku, hal itu terjadi. Dua detik setelahnya, sesuatu yang lembut dan lembab menyentuh bibirku. Melumatnya perlahan.

Oh, astaga. Rasanya isi perutku sedang berlompat-lompat ria-oke, maksudku bukan itu. Entah apa yang kurasakan sekarang, aku juga tidak bisa menjelaskannya. Rasanya.. aneh. Mendebarkan. Seperti aku sedang berada di dunia yang berbeda.

"Cut!"

Aku mendengar suara Mrs. Hastings, dan mataku pun kembali terbuka. Harry pun melepaskan bibirnya dariku, membuatku sadar bahwa aku sudah kembali ke dunia nyata.

Crap. That did not.. just happen. Harry benar-benar menciumku.

The Story Of Us (One Direction Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang